Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mobil Listrik: Jalan Menuju Masa Depan Hijau Jangan Sampai Sekedar Gengsi

26 Juni 2025   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2025   06:14 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harga mobil listrik murah.(KOMPAS.com/STANLY RAVEL)

Pendahuluan

Saya bukan penentang mobil listrik. Justru sebaliknya, saya mendukung penuh gerakan menuju kendaraan ramah lingkungan. Masa depan memang milik energi bersih. Udara yang kita hirup semakin terpolusi, bumi semakin panas, dan transportasi menyumbang porsi besar terhadap emisi karbon global.

Tapi, di antara gegap gempita peluncuran mobil listrik, insentif pemerintah, dan narasi masa depan ramah lingkungan, saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana sebagai warga biasa: Apakah mobil listrik memang sudah siap menggantikan mobil konvensional khususnya bagi kami yang hidupnya masih dalam irama ekonomi sederhana dan realistis?

Seorang teman saya yang tinggal di pusat kota baru saja membeli mobil listrik. Ia antusias sekali, sampai saya tertarik bertanya-tanya. Tapi belum lama, ia terdengar mengeluh lewat grup watsapp: Di daerahnya SPKLU sering penuh, dan pengisian di rumah butuh waktu 5-6 jam. Dia bilang: "Kalau dipakai jarak dekat oke, tapi untuk mudik atau perjalanan panjang, saya masih andalkan mobil lama saya.”

Mobil Konvensional LCGC: Simpel, Terjangkau, dan Sudah Teruji

Saat ini saya dan keluarga menggunakan mobil konvensional jenis LCGC. Bukan karena tak ingin berubah, tetapi karena mobil itu sudah seperti sahabat: Kami paham betul karakternya, biaya perawatannya, dan yang terpenting kami mampu memilikinya tanpa harus mengorbankan stabilitas ekonomi keluarga.

Mobil listrik, sejauh ini, masih terasa seperti barang mewah yang dibungkus dalam narasi peduli lingkungan. Tentu narasi itu bagus. Tapi apakah adil jika perubahan besar ini harus ditanggung terlebih dahulu oleh masyarakat menengah ke bawah yang masih berjuang hidup kembang-kempis?

Mobil LCGC kami memang tidak mewah, tapi sangat membantu mobilitas keluarga kecil kami. Saat anak-anak sakit dan harus buru-buru ke klinik, saya tidak perlu bingung cari taksi online. Saat belanja ke pasar tradisional, barang-barang bisa langsung dibawa tanpa ribet. Hemat BBM, pajaknya ringan, dan suku cadangnya mudah ditemukan.

Infrastruktur dan Pengetahuan Masih Terbatas

Saya perhatikan makin banyak orang mulai melirik mobil listrik, bahkan membelinya. Tapi kemudian muncul pula banyak keluhan: Soal charging station yang terbatas, waktu pengisian daya yang tak secepat mengisi bensin, hingga kekecewaan pascajual. Belum lagi pemahaman teknis dari pemilik maupun teknisinya yang kadang masih sebatas permukaan.

Sejujurnya, product knowledge tentang mobil listrik belum merata. Apa yang harus dilakukan jika baterai drop? Apakah aman saat hujan lebat? Berapa lama baterai bisa bertahan? Siapa yang bisa servis selain bengkel resmi? Semua pertanyaan ini masih menggantung tanpa jawaban pasti.

Saya pernah mampir ke pameran otomotif. Melihat mobil listrik mengisi daya dengan senyap, desain modern, dan bebas emisi, rasanya ingin sekali memilikinya. Tapi saat melihat brosur harga, fitur, dan pertanyaan seputar charging station di sekitar tempat tinggal saya belum terjawab, saya langsung berpikir ulang.

Antara Harapan dan Realitas

Sebagai warga negara, saya mendukung program besar pemerintah soal energi bersih. Saya ingin anak cucu saya hidup di bumi yang lebih sehat. Tapi sebagai kepala keluarga, saya juga punya tanggung jawab memastikan keuangan keluarga tetap aman dan waras.

Saya yakin banyak orang di luar sana yang memiliki kegelisahan serupa. Kita ingin maju, tapi tak ingin terjerembab karena ikut tren sebelum waktunya. Maka saya kira diskusi publik sangat penting: Agar transisi ini tidak hanya menjadi ajang promosi industri, tapi juga menjadi proses inklusif yang memperhatikan kesiapan dan realitas masyarakat.

Saya mendukung upaya menjaga lingkungan, tapi harus diakui, tidak semua orang punya akses yang setara untuk ikut serta. Jika mobil listrik hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu, maka apakah keadilan ekologis sudah benar-benar terwujud? Jangan sampai, demi menciptakan kota yang hijau, masyarakat pinggiran malah dikorbankan.

Penutup: Kita Siap, Asal Negara Tak Lepas Tangan

Mobil listrik bukan sekadar perubahan teknologi, tapi juga perubahan sistem dan cara berpikir. Untuk itu, edukasi publik, pembangunan infrastruktur, dan jaminan pascajual adalah mutlak. Negara tidak bisa hanya mendorong warganya membeli mobil listrik, tapi juga harus hadir menjembatani segala keterbatasan yang masih ada.

Pemerintah sudah memulai langkah baik, tapi jangan berhenti di insentif pembelian saja. Edukasi publik, subsidi pengisian daya, pembangunan charging station hingga ke pelosok, serta regulasi pascajual perlu menjadi prioritas. Jika itu dilakukan, maka kami, rakyat kecil, akan lebih percaya diri melangkah bersama.

Saya percaya perubahan itu butuh proses. Kita tidak bisa langsung melompat hanya karena dunia berubah cepat. Justru dalam hal seperti ini, perlu kehati-hatian agar perubahan tidak menjadi bumerang. Biarlah saya menjadi warga yang lambat dalam menerima teknologi, asal tidak menyesal karena terburu-buru.  

Bagi saya hari itu pasti akan datang, ketika saya akan berpindah ke mobil listrik. Tapi semoga saat itu tiba, bukan karena saya dipaksa tren, tapi karena saya merasa siap, nyaman, dan mampu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun