Pendahuluan
Dunia menyaksikan adegan yang terasa semakin biasa: Pesawat-pesawat tempur AS/Israel meluncurkan serangan presisi ke fasilitas nuklir Iran, diikuti ancaman dari Pentagon tentang kehancuran lebih besar jika Teheran membalas.Â
Sejak Revolusi Islam 1979, hubungan Iran-Barat ibarat lingkaran setan aksi-reaksi yang tak berujung.
Di permukaan, ini tampak seperti kemenangan mudah bagi Washington dan sekutunya. Tapi dalam konflik yang sudah berakar 40 tahun lebih, kemenangan militer justru sering menjadi awal dari kekalahan politik yang pahit.
Analisa Sejarah
Iran bukan Irak tahun 2003. Negeri dengan 85 juta jiwa ini telah membangun jaringan pertahanan asimetris yang rumit. Setiap kali tekanan militer Barat datang, Teheran merespon dengan cara yang tak terduga melalui proxy di Lebanon, serangan siber, atau gangguan di jalur minyak vital.Â
Serangan terhadap fasilitas nuklir mungkin memperlambat program atom Iran, tapi sejarah menunjukkan rezim di Teheran justru semakin beringas ketika terpojok. Ancaman mereka untuk membombardir Tel Aviv bukan sekadar gertakan, rudal-rudal balistik dengan jangkauan 2.000 kilometer sudah terpasang di pangkalan-pangkalan bawah tanah.
Di sisi lain, Israel dengan segala keunggulan teknologinya justru terjebak dalam paradoks keamanan. Iron Dome yang mampu menangkis 90% serangan rudal tak mampu memberikan rasa aman sejati, ketika 10% sisanya bisa berarti ratusan korban jiwa.Â
Perang 34 hari melawan Hizbullah tahun 2006 menjadi pelajaran berharga: Keunggulan militer mutlak tidak otomatis diterjemahkan menjadi kemenangan politik. Bahkan kini, kelompok bersenjata Lebanon itu memiliki rudal 10 kali lebih banyak daripada 18 tahun silam.
Pengaruh dari dan di Dunia Luar