"Nenek, Kakek saya aja belum tentu pernah menonton film ini, jadi saya sangat bersyukur bisa menonton film sarat sejarah di eranya!", begitulah pembuka dari MC yang membuat saya tercengang setelah selesai menonton film layar hitam putih di Bioskop kelas atas kota Medan, tepatnya di CGV Focal Point Medan, Kamis (31 Mei 2018) dari pukul 08.00 Wib sampai selesainya pukul 12.00 Wib juga.
Diawali dengan pemutaran film yang konon katanya di eranya hanya tayang tiga hari, bayangkan tiga hari saja! Setelah tayang, film ini langsung ditarik kembali dari peredaran karena penolakan luar biasa.
Alasan bernuansa politik menjadi penyebab film ini ditarik. Lebih tepatnya, karena salah satu partai besar waktu itu PKI (Partai Komunis Indonesia) menuntut agar film "Pagar Kawat Berduri" tidak boleh diputar di bioskop, karena dianggap bisa membuat rakyat Indonesia bersimpati kepada Belanda.
Sejarah Film Pagar Kawat Berduri
Film ini diangkat ke layar lebar oleh Sutradara kawakan, Asrul Sani di tahun 1961 lewat produksi Kedjora. Pagar Kawat Berduri diangkat dari hasil karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan masa itu, adalah mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD -- kini biasa disebut Kopassus), sehingga mengetahui betul bagaimana situasi dan kondisi saat itu.
Film ini bertemakan revolusi yang terjadi masa itu dan dianggap sebagai karya film bertemakan revolusi terbaik dibandingkan dengan film-film lainnya.
Film ini mengisahkan tentang perjuangan para pejuang-pejuang Republik Indonesia yang berada di kamp Belanda sebelum masa kemerdekaan, karena nekat menyuarakan revolusi. Awalnya para pejuang yang ditawan ingin melarikan diri dari kamp, namun penjagaan yang ketat, bahkan dipagari dengan kawat berduri membuat peluang untuk lari sangat tipis sekali.
Film ini bercerita bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan oleh para pejuang kita agar mendapat simpati dari penjaga-penjaga Belanda. Adalah Parman (diperankan Sukarno M Noor), memilih strategi untuk berkawan karib (berpura-pura menjilat dan tunduk) kepada pimpinan Kamp Belanda, Kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/Suryabrata), sehingga dianggap teman-temannya adalah penghianat.Â
Tetapi Parman tidak peduli, terus menjalin komunikasi, menarik simpati Belanda dengan melarang setiap teman-temannya akan melakukan perlawanan kepada Belanda.
Singkat cerita, terjadi dilema pada diri Kampinen Koenen, antara membantu Indonesia memperjuangkan hak kemerdekaannya? Atau meneruskan tujuan Belanda ke Indonesia? Yaitu: menguasai rempah-rempah, cengkeh, kopi, dan seluruh kekayaan Republik yang kesohor itu.
Lalu ada adegan kala Kampinen Koenan di tengah-tengah kegalauannya, pergi ke Gereja untuk mengikuti perayaan Misa dan berdoa. Namun, Kampinen Koenen memilih jalan untuk membantu Parman. Saat dia memanggil Parman dalam keadaan mabuk dan pingsan? Ketika itu Parman mengambil pistol dari lemari Koenan. Lalu disitulah dia membongkar siapa sebenarnya Parman bersama dengan dua anggota yang bakal ditembak mati oleh Belanda, Herman dan Toto.
Malam itu juga, Parman membantu pelarian Herman dan Toto untuk kembali bergabung dengan pejuang Republik. Bermodalkan pistol dan catut untuk memotong pagar kawat berduri, naas bagi Herman, tertembak peluru Belanda, tetapi Toto berhasil lolos.
Koenan memilih bunuh diri dengan menembakkan kepala sambil memeluk foto Ratu Belanda dan nasib Parman dan kawan-kawan? Ending film ini mereka dibawa untuk dieksekusi.
Alasan Film Pagar Kawat Berduri di Restorasi
Film ini berusia 56 tahun, memiliki pandangan "humanisme universal", karena mampu membuat masyarakat bersimpati pada sesama, dalam cerita ini kepada Belanda. Sehingga film ini mengalami penolakan luar biasa, salah satu tokoh yang menolak, adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Padahal, film ini mengandung nilai-nilai budaya, sejarah, kearifan lokal. Sehingga tidak salah jika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Pusat Pengembangan Perfilman merestorasi film ini.
Ini adalah film kedua yang berhasil diresorasi dengan baik, setelah "Darah dan Doa" (The Long March), tahun 2013. Pusbangfilm bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Kota Medan dan Yayasan Manuprojectpro mengadakan pemutaran dan diskusi film hasil restorasi Pagar Kawat Berduri yang dilaksanakan selama kurang lebih seratus hari tersebut.
Hasilnya sangat membanggakan, karena 100% menyerupai, padahal kondisi gulungan film sudah sangat memprihatinkan, ketika para kurator setelah mengkurasi lima judul film, menjatuhkan pilihan pada Pagar Kawat Berduri untuk direstorasi, harus bekerja ekstra keras. Begitu ungkapan Panji Wibisono, Staf Pengarsipan film.
Riska F. Akbar, dari Render Digital Indonesia mulai membeberkan rahasia, kenapa Pagar Kawat Berduri mendapat kesempatan direstorasi, karena: (1) Kondisi fisik film yang harus segera diselamatkan; (2) Sutradara yang mewakili zamannya; (3) Film memiliki nilai-nilai (sejarah) pada Zamannya; (4) Film yang memiliki nilai inspiratif bagi pengembangan pendidikan karakter; (5) Film yang tidak akan direstorasi oleh pemilik hak cipta-nya; (6) Kondisi teknis film yang masih memiliki negatif lebih mudah dikerjakan.
Yang paling membuat film hasil restorasi karya anak bangsa ini semakin sempurna, ketika dibawa ke Bangkok untuk pemutaran perdana. Disana film ini dipuja, kualitasnya mendekati sempurna, mereka takjub dan menyarankan agar audio-visualnya diperbaiki. Sepulang dari Bangkok, tim bekerja lagi, sehingga terwujudlah hasil restorasi seperti sekarang ini.
Pertanyaannya, "Kenapa Medan dipilih sebagai tempat kedua untuk diputar?" Menurut Kabid Kesenian Tradisional Dinas Kebudayaan Kota Medan, Yuliar "Sejarah mungkin banyak ditinggalkan, orang-orang berlomba menciptakan inovasi modern. Padahal semua itu tidak mungkin terwujud jika tanpa proses dari sejarah."
Lebih lanjut, Immanuel Ginting berharap, "Kedepan kami ingin edukasi masyarakat Sumut, jangan hanya buat film indie, tapi bisa ikut profesi perfilman. Sekarang ada hal baru, Restorasi. Kenapa kita ngak belajar? Kalau kita sudah punya ahlinya, akan baik kalau Medan nantinya menjadi pusat restorasi perfilman,".
Harapannya, semoga film Pagar Kawat Berduri ini bisa tayang di bioskop-bioskop tanah air seperti harapan pembuat filmnya, Asrul Sani di tahun 60-an. Dimana beliau sangat berharap film ini bisa mengedukasi dan menggebrak rasa nasionalisme, serta rasa kemanusiaan, respek pada sesama seperti dalam cerita film.
Berharap, semakin banyak penonton, seharusnya Kemendikbud dalam hal ini Pusbangfilm sukses mempromosikan film hasil Restorasi berjudul Pagar Kawat Berduri. Sehingga nilai-nilai karakter dan sejarah, dapat sampai kepada penontonnya. Semoga!
Sumber tulisan: