Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prosa Reflektif || Mengukur Martabat Diri Di Timbangan Amanah

11 Oktober 2025   14:23 Diperbarui: 11 Oktober 2025   14:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Dokumentasi Pribadi

#Tafakkur,  Titipan Langit, Beban Bumi

Kita seringkali tersilau oleh kilauan pencapaian diri, memandang harta benda yang terkumpul, gelar akademik yang terpajang, atau kecantikan rupa yang dikagumi, sebagai mahakarya yang murni lahir dari usaha dan kecerdasan pribadi semata, seolah-olah seluruh keberhasilan adalah hasil dari perencanaan kita yang sempurna. Kita lupa bahwa di balik semua itu terdapat sebuah mata rantai takdir yang tersusun rapi, sebuah orkestrasi kosmik, dan peran kekuatan tak terlihat dari Sumber Yang Maha Kuasa yang jauh melampaui batas kemampuan insani kita yang fana; kesilauan ini menjauhkan kita dari hakikat sebagai hamba yang lemah. Kesadaran sejati dimulai ketika seseorang yang telah memilih untuk berpikir dengan hati dan ilmu mampu melihat dirinya bukan sebagai pemilik tunggal dan abadi dari segala kelebihan yang ia miliki, melainkan hanya sebagai wadah sementara yang dipercaya untuk menampung karunia-karunia agung yang mengalir tanpa henti dari Sumber Kekuatan Yang Maha Esa. Perspektif ini, yang menempatkan manusia pada posisi kerendahan, adalah penawar mujarab yang segera meredam api kesombongan sebelum ia sempat berkobar dan membakar habis segala potensi kebaikan, keikhlasan, dan pahala yang ada di dalam hati. Refleksi inilah yang secara otomatis membuka gerbang kerendahan hati sejati (Tawadhu'), menyadari bahwa setiap kelebihan adalah pinjaman semesta yang harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat, penjagaan, dan tanggung jawab yang tak main-main. Karunia-karunia tersebut tidak boleh digunakan untuk dipamerkan atau dijadikan alasan untuk merasa superior di hadapan sesama hamba Allah yang lain, melainkan wajib difungsikan sebagai alat utama untuk menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sebagaimana yang dituntut oleh janji primordial.

Ego seringkali berbisik dengan lantang tentang mitos kepemilikan absolut, sebuah klaim palsu yang menggiring jiwa pada jebakan fatal bahwa kelebihan adalah hak mutlak, bukan anugerah murni dari Sang Pemberi yang bisa ditarik kapan saja tanpa pemberitahuan. Narasi yang menyesatkan ini secara perlahan menjauhkan diri dari esensi rasa syukur yang hakiki, karena semakin seseorang mengklaim kelebihannya sebagai hasil murni upayanya, semakin kuat pula ia terikat pada godaan sombong ('Ujub) dan memandang rendah orang lain yang dianggap kurang beruntung atau tidak secerdas dirinya dalam meraih sukses duniawi. Kebenaran yang sesungguhnya harus diakui dan diterima adalah bahwa kecerdasan yang tajam, harta yang melimpah ruah, kedudukan yang dihormati dan disegani, atau bahkan ilmu yang luas, adalah rezeki yang datang tanpa diminta secara spesifik, disalurkan melalui mekanisme takdir yang rumit dan tidak sepenuhnya dikuasai oleh pemikiran manusia. Oleh karena itu, saat kegagalan kecil menghampiri atau kekurangan tak terhindarkan muncul dalam hidupnya, ia yang sombong akan segera merasa terpuruk, putus asa, dan marah kepada takdir, karena pondasi kebanggaannya dibangun di atas pasir klaim diri yang sangat rapuh dan mudah runtuh tertiup badai realitas yang tak terduga, sehingga ia kehilangan ketenangan (tuma'ninah).

 Orang yang benar-benar berpikir yakni, mereka yang mampu menggabungkan ilmu yang logis dan rasional dengan hati yang spiritual dan tunduk pada wahyu akan mencapai pemahaman yang paripurna tentang posisi dirinya yang sebenarnya di dunia, jauh dari ilusi keakuan. Ia menyadari betul bahwa ilmu tanpa hati cenderung menghasilkan kesombongan intelektual yang kering, sementara hati tanpa ilmu akan mudah tersesat dalam emosi buta dan kesesatan yang jauh dari kebenaran. Namun, ketika keduanya berpadu dalam sebuah integrasi yang harmonis, terciptalah simfoni kesadaran yang jernih dan bijaksana, yang membimbing pemiliknya untuk senantiasa mencari tahu, bukan hanya apa yang ia miliki, tetapi mengapa ia memilikinya, dan untuk tujuan apa karunia tersebut diberikan padanya oleh Yang Maha Pemberi. Integrasi mulia ini secara otomatis menghasilkan Tawadhu' Intelektual (kerendahan hati ilmiah) yang kokoh, sebuah sikap di mana kelebihan ilmu tidak pernah digunakan untuk menyalahkan, menjatuhkan, atau menghakimi orang lain yang ilmunya terbatas, melainkan untuk membimbing, menginspirasi, dan melayani umat manusia. Sebab, ia sadar seyakin-yakinnya bahwa ilmu yang ia dapat hanyalah setetes air kecil dari samudra tak terbatas milik Sang Pencipta, dan semakin ia belajar mendalam, semakin ia menyadari betapa luasnya lautan ketidaktahuan yang masih harus ia selami dan akui secara jujur; inilah esensi dari hikmah sejati yang membebaskan.

Konsep amanah dalam pandangan spiritual yang hakiki bukanlah sekadar pemberian atau hadiah yang dapat dinikmati tanpa syarat atau tanggung jawab apa pun, melainkan ia adalah sebuah beban janji yang diemban oleh jiwa manusia sejak awal penciptaan, sebuah pertaruhan kepercayaan yang nilainya jauh melebihi gunung dan langit jika ditimbang. Setiap individu diuji secara adil dengan apa yang ada di tangannya, baik itu kelebihan berupa waktu luang yang produktif dan bermanfaat, kesehatan fisik yang prima dan kuat, atau bahkan kecantikan rupa yang menjadi pusat perhatian publik; semua itu, tanpa kecuali, adalah tanggung jawab yang menuntut penjagaan, pemeliharaan, dan penggunaan yang selaras dengan kehendak Ilahi yang suci. Kelebihan yang dimiliki seseorang sejatinya merupakan alat ukur spiritual yang akan digunakan kelak di Hari Pertanggungjawaban (Yaumul Hisab) yang pasti datang, di mana setiap detik harta yang dibelanjakan, setiap kata dari ilmu yang disebarkan, dan setiap keputusan yang diambil dari kedudukan yang tinggi akan diperiksa secara teliti dan mendalam oleh Sang Hakim Yang Maha Adil. Pemahaman yang mendalam tentang hari perhitungan ini tidak lantas membuat seseorang merasa bangga dengan pencapaiannya, tetapi justru wajib menumbuhkan rasa takut yang sehat (Khauf) dan kepedulian yang mendalam (Raja') terhadap nasibnya di akhirat kelak, menjadikannya pribadi yang berhati-hati dalam setiap langkah.

Kelebihan menjelma dalam berbagai rupa dan bentuk yang menantang keimanan Sang Penerima, mulai dari harta benda yang harus disucikan secara teratur melalui zakat dan infak wajib, hingga kecerdasan (intelegensi) yang wajib digunakan untuk mencari kebenaran, menolak kebatilan, dan mengajarkan kebaikan kepada sesama, melampaui batas kepentingan pribadi atau golongan. Semuanya merupakan medan ujian yang menguji kejujuran dan ketulusan hati Sang Penerima, apakah ia akan mengutamakan kepentingan diri atau kepentingan agama dan umat. Kecantikan atau ketampanan yang seringkali disalahgunakan untuk kesombongan diri atau menjerat hati dalam fitnah, sebetulnya adalah amanah estetika yang semestinya menjadi pengingat akan keindahan Sang Pencipta dan wajib dijaga ketat dari perbuatan maksiat yang merusak. Sementara itu, kedudukan dan jabatan publik adalah amanah kekuasaan yang menuntut keadilan mutlak, bukan kesewenang-wenangan dan zalim, di mana pemegang amanah harus memastikan bahwa hak-hak rakyat yang lemah tidak terampas oleh kepentingan segelintir elite yang hanya mengejar keuntungan sesaat dan melupakan visi jangka panjang yang penuh manfaat bagi generasi penerus. Dengan demikian, setiap kelebihan adalah mandat fungsional yang harus dioptimalkan untuk kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan, bukan semata-mata untuk memuaskan kepuasan ego dan haus validasi diri yang tak berujung.

Respon yang paling bijaksana dan paling utama terhadap kesadaran akan hakikat amanah adalah memilih Jalan Syukur (Shukr) dan Kerendahan Hati (Tawadhu') sebagai pedoman hidup. Ini adalah sebuah komitmen yang secara sadar menolak segala bentuk keangkuhan dan menegaskan dengan lisan dan hati bahwa segala kebaikan yang terjadi dalam hidup datang dari anugerah Allah semata, tanpa ada peran yang layak dibanggakan dari diri sendiri. Oleh karena itu, setiap pujian, sanjungan, atau pengakuan dari manusia tidak lagi membusungkan dada dan menimbulkan rasa bangga diri, melainkan justru menjadi bahan bakar spiritual untuk meningkatkan kualitas ibadah dan pelayanan kepada sesama hamba. Mereka sadar, pujian sejati adalah pujian yang datang dari Sang Pencipta, bukan makhluk fana. Tawadhu' bukan berarti merendahkan diri secara palsu (nifaq) atau menyembunyikan kelebihan yang wajib ditampakkan dalam rangka syiar, melainkan ia adalah pengakuan internal yang tulus. Pengakuan bahwa posisi seseorang sehebat apapun pencapaian duniawinya hanyalah setetes air di tengah samudra kekuasaan Ilahi Yang Tak Terbatas, dan tanpa rahmat-Nya, tidak ada kecerdasan yang akan berfungsi, tidak ada harta yang akan kekal, dan tidak ada kedudukan yang akan bertahan lama. Sikap inilah yang menjaga hati tetap bersih dari penyakit 'Ujub (bangga diri) dan Riya' (pamer), membebaskan jiwa dari belenggu validasi duniawi yang fana dan menyesatkan.

Pada akhirnya, refleksi mendalam tentang amanah membawa kita kembali pada kesimpulan tunggal dan tak terbantahkan: segala sesuatu yang kita pegang, kita kelola, dan kita nikmati adalah milik-Nya yang mutlak, dan kita hanyalah pengelola yang sementara, yang sebentar lagi akan berpulang. Ini adalah sebuah kebenaran yang membebaskan jiwa dari beban perfeksionisme dan ketakutan irasional akan kehilangan, karena kita tidak pernah benar-benar kehilangan apa yang sejak awal bukan milik kita, melainkan hanya mengembalikan pinjaman pada waktunya yang telah ditetapkan. Kesadaran akan Keadilan Ilahi ini menuntun pada sikap Ridha (kepuasan hati terhadap ketetapan Tuhan), baik saat karunia ditambahkan untuk menguji kesyukuran, maupun saat karunia ditarik kembali untuk menguji kesabaran. Sebab, hikmah di balik penarikan seringkali lebih besar dan lebih penting daripada manfaat saat karunia itu masih berada di genggaman, sebuah proses pemurnian yang membersihkan hati dari ketergantungan pada materi duniawi yang tidak abadi. Dengan menjalani kelebihan sebagai amanah yang dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya, seseorang mencapai Tuma'ninah (ketenangan hakiki), sebuah kedamaian batin yang lahir dari keyakinan bahwa ia telah menggunakan titipan Ilahi itu di jalan yang benar, sesuai petunjuk. Kelak, di hadapan Sang Pemberi Amanah, ia dapat menatap dengan wajah penuh harap dan berkata, "Ya Allah, telah kugunakan amanah-Mu, harta, ilmu, dan waktu ini, semata-mata hanya untuk mencari ridha-Mu.

Wahai jiwa yang memegang titipan, ingatlah selalu bahwa kelebihan terbesarmu bukanlah yang terlihat oleh mata manusia, melainkan hati yang lembut, tulus, dan penuh rasa takut (Khauf) kepada Dzat Yang Memberi. Jangan biarkan kesuksesan duniawi menjadi tirai yang menghalangi pandanganmu dari hakikat dirimu sebagai hamba yang lemah dan fakir di hadapan Kekuatan-Nya yang tak terbatas. Jadikanlah Tawadhu' sebagai mahkota di atas segala pencapaianmu, karena ia adalah satu-satunya perisai dari api kesombongan yang dapat menghanguskan amal kebaikanmu sekejap mata. Bersyukurlah dengan hati, berbuatlah dengan ilmu, dan berniatlah hanya untuk mencari Ridha Ilahi dalam setiap gerak dan diam. Gunakanlah amanah itu, entah harta atau kecerdasan, untuk melayani sesama dan menegakkan keadilan, sebab kelak di Yaumul Hisab, timbanganmu akan diukur dari seberapa baiknya engkau mengelola pinjaman-Nya itu. Ambillah nasehat agung ini: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya." Jadilah lentera yang sinarnya tak pernah membakar, melainkan hanya membimbing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun