Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kontemplasi: Pulang Sebelum Dipanggil Pulang

2 Oktober 2025   20:33 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:33 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Renungan tentang Kefanaan Dunia dan Keabadian Cinta Ilahi

Hidup adalah perjalanan yang penuh misteri. Kita lahir tanpa apa-apa, kemudian tumbuh dengan segala pencarian: harta, kedudukan, cinta, dan penghargaan dari sesama manusia. Kita mengejarnya seolah itu adalah jawaban atas seluruh kerinduan jiwa. Namun, adakah kita benar-benar menemukan kebahagiaan di dalamnya? Atau justru semakin haus, semakin merasa kurang, dan semakin takut kehilangan? Sejatinya, dunia ini adalah fana. Setiap hal yang kita cintai suatu saat akan pergi. Maka, ada baiknya kita duduk sejenak, merenung, bertanya pada diri sendiri: apa yang sesungguhnya kita harapkan dari dunia yang sebentar ini? Apakah cinta dan ridha Allah sudah kita raih, atau kita masih terjebak dalam fatamorgana kehidupan?

Harta adalah salah satu godaan terbesar manusia. Kita bekerja siang dan malam, mengumpulkannya dengan segala cara, lalu menyimpannya seolah ia mampu menjamin kebahagiaan. Namun, harta adalah titipan, bukan tujuan. Ia bisa habis dalam sekejap, berpindah tangan dalam sekali peristiwa, atau hilang ditelan waktu. Al-Qur'an dengan tegas mengingatkan:
"Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal shalih yang terus-menerus lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan." (QS. Al-Kahf: 46). Ayat ini seakan menepuk bahu kita, memberi tahu bahwa harta hanyalah hiasan sementara. Perhiasan tidak pernah abadi; ia hanya mempercantik sesaat lalu pudar. Betapa banyak orang yang meninggalkan harta berlimpah, namun ketika ajal datang, harta itu tak mampu menolongnya walau hanya sekedar memperpanjang nafas satu tarikan lagi. Harta memang bisa menjadi jalan ibadah, jika dikelola dengan niat ikhlas. Namun, jika hati terikat pada harta, maka sesungguhnya kita telah menjadikan harta sebagai tuhan kecil yang kita sembah. Di sinilah kita perlu berhati-hati, jangan sampai harta yang kita cintai justru menjadi beban di akhirat kelak.

Selain harta, manusia sering mengejar kedudukan dan jabatan. Kita merasa mulia ketika dipandang tinggi, merasa berharga ketika nama kita disebut dalam penghormatan, dan merasa hancur ketika kehilangan semua itu. Padahal, kedudukan adalah sesuatu yang paling rapuh. Sejarah membuktikan, raja yang paling berkuasa pun akhirnya turun dari tahtanya, pemimpin yang diagungkan akhirnya dilupakan, pejabat yang disanjung akhirnya digantikan. Kedudukan tidak pernah abadi. Imam Al-Ghazali pernah berkata: "Apabila engkau ingin mengetahui hakikat dirimu, maka lihatlah saat engkau mati. Saat itu semua jabatanmu, gelarmu, dan kebesaranmu ditanggalkan. Yang tersisa hanyalah amalmu." Betapa sering kita lupa bahwa kedudukan adalah amanah, bukan kehormatan pribadi. Ia akan dipertanggungjawabkan, bukan dibanggakan. Maka alangkah sia-sia jika seluruh hidup kita dihabiskan hanya untuk mengejar tahta yang akan runtuh pada waktunya.

Cinta manusia adalah salah satu anugerah terbesar, tetapi juga salah satu ujian terberat. Kita mencintai sahabat, pasangan, atau keluarga seakan mereka akan selalu bersama kita. Namun, perpisahan adalah kepastian. Teman yang dicintai suatu saat akan pergi, entah karena takdir jarak, perbedaan arah, atau maut yang memisahkan. Bukankah sering kita merasakan luka karena kehilangan orang yang kita sayangi? Semua itu mengingatkan kita bahwa cinta manusia terbatas, ia memiliki masa, ia tidak bisa menjadi sandaran utama. Rasulullah SAW bersabda: "Cintailah siapa saja sekedarnya saja, karena boleh jadi suatu saat ia menjadi orang yang engkau benci. Dan bencilah siapa saja sekedarnya saja, karena boleh jadi suatu saat ia menjadi orang yang engkau cintai." (HR. Tirmidzi). Hadis ini bukan berarti kita dilarang mencintai, tetapi agar kita mencintai dengan proporsional, tidak menjadikan makhluk sebagai pusat hidup. Sebab cinta yang sejati hanyalah cinta kepada Allah. Dialah yang tidak pernah meninggalkan, Dialah yang selalu ada bahkan ketika semua orang berpaling.

Waktu adalah harta paling mahal yang sering kita sia-siakan. Usia kita tidak pernah bertambah, melainkan terus berkurang. Setiap hari yang kita lalui sejatinya adalah satu langkah lebih dekat menuju kubur. Allah SAW mengingatkan dalam Al-Qur'an: "Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Ali Imran: 185). Kematian adalah janji yang pasti. Kita tidak tahu kapan dan di mana ia akan datang. Sehebat apapun kita merencanakan masa depan, semua akan berakhir ketika ajal mengetuk. Maka, adakah kita sudah menyiapkan bekal? Ataukah kita masih terbuai dalam mimpi panjang seolah hidup akan abadi?

Kita berdiri di persimpangan kehidupan, sering kali terpaku pada ilusi kekalnya. Kita mengejar harta yang, seberapa pun melimpahnya, pasti akan terurai menjadi debu; sebuah warisan yang tak mampu kita bawa dalam perjalanan terakhir. Kita genggam erat kedudukan dan kehormatan duniawi, lupa bahwa takhta terkuat pun hanyalah panggung rapuh yang suatu saat akan kosong, digantikan oleh wajah baru yang sama-sama fana. Bahkan cinta manusia, yang kita puja sebagai tiang penyangga, sering kali terbukti terbatas. Ia bisa pudar oleh jarak, berubah oleh waktu, atau berakhir dalam perpisahan yang menyakitkan. Dan di atas segalanya, usia kita terus berdetak, membawa kita semakin dekat pada garis akhir yang tak terhindarkan yaitu ajal. Jika fondasi-fondasi kehidupan yang kita bangun dimana kekayaan, kekuasaan, dan kasih sayang duniawi semuanya rapuh, lalu apa yang sesungguhnya kita cari dalam hiruk pikuk ini? Apakah kita rela menghabiskan napas, energi, dan seluruh potensi jiwa hanya demi kenyamanan dunia yang sifatnya sementara? Apakah tujuan utama kita hanyalah menumpuk aset yang akan ditinggalkan, mengejar pujian yang akan dilupakan, dan menikmati kesenangan yang akan sirna secepat embun pagi? Jika demikian, kita telah menyia-nyiakan anugerah terbesar yaitu kesempatan untuk mencari yang Abadi. Inti dari pertanyaan ini adalah undangan untuk melakukan refleksi paling jujur. Jika kita tidak menjawabnya, jika kita gagal menemukan makna hidup yang melampaui materi, maka kita akan menghabiskan waktu dengan kesibukan tanpa arah. Kita bergerak cepat, sangat sibuk, tetapi bergerak dalam lingkaran yang sama. Kita akan menjadi hamba yang terikat pada roda dunia, bekerja keras hanya untuk memperindah penjara fana kita sendiri, padahal dunia dengan segala gemerlapnya bukanlah tujuan akhir. Tujuan hidup yang sejati haruslah berupa kebahagiaan hakiki, sebuah kedamaian yang tidak terikat oleh fluktuasi pasar, perubahan status, atau batas waktu. Ini adalah pencarian akan nilai-nilai yang kekal yaitu kebenaran, kebaikan, dan koneksi spiritual yang menembus batas waktu. Pencarian ini adalah janji pembebasan dari kegelisahan. Hanya ketika kita memusatkan hati kita pada hal yang tidak akan sirna, barulah kita dapat hidup dengan makna yang mendalam dan ketenangan yang sejati, menjadikan setiap detik usia kita sebagai investasi untuk sesuatu yang jauh melampaui fana.

Sesungguhnya, hanya satu hal yang pantas kita jadikan tujuan yaitu cinta dan ridha Allah. Dialah yang tidak pernah meninggalkan, Dialah yang selalu menyertai, Dialah yang menjadi tujuan sejati.Hanya dengan ridha-Nya hati menjadi tenang. Hanya dengan cinta-Nya jiwa merasa cukup. Maka, amal shalih adalah jalan menuju ridha itu. Kebaikan yang kita lakukan dengan ikhlas akan menjadi cahaya di dunia, penolong di alam kubur, dan pemberat timbangan di akhirat. Dunia hanyalah jalan, bukan rumah. Jalan ini harus kita lalui dengan sabar, tawakal, dan amal. Rumah kita yang sebenarnya adalah akhirat.  Mari kita renungkan sejenak. Jika dunia hanyalah persinggahan, mengapa kita masih memperlakukannya seolah ia istana? Mengapa kita begitu takut kehilangan harta, kedudukan, atau cinta manusia, padahal semua itu memang pasti akan pergi? Bukankah lebih bijak jika kita menata hati untuk mencintai Allah lebih dari segalanya? Bukankah lebih indah jika kita jadikan dunia sebagai ladang amal, bukan tempat berbangga? Sebab pada akhirnya, bukan banyaknya harta yang menenangkan hati, bukan tingginya jabatan yang menyelamatkan, dan bukan lamanya usia yang memuliakan. Yang menyelamatkan hanyalah rahmat Allah.

Wahai diri, janganlah tertipu oleh dunia. Ia hanya sementara, sedangkan akhirat adalah selama-lamanya. Persiapkan bekal, isi usia dengan amal, dan jangan terikat pada fatamorgana dunia. Ingatlah pesan Rasulullah SAW: "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau seorang musafir." (HR. Bukhari). Maka hiduplah dengan sederhana, beramal dengan ikhlas, mencintai dengan tulus, dan selalu bersandar pada Allah. Karena cinta dan ridha-Nya adalah satu-satunya yang abadi, yang tidak akan pernah habis, tidak akan pernah pergi, dan tidak akan pernah mengecewakan. 

Wahai jiwa yang sedang membaca, renungkanlah sejenak: apa yang sebenarnya kita genggam dalam hidup ini? Segala yang kita sebut "milik" sejatinya hanyalah titipan. Harta akan meninggalkan kita atau kita meninggalkannya. Kedudukan yang kita banggakan hanyalah papan nama yang suatu saat akan dicopot. Sahabat, pasangan, dan keluarga tercinta pun akan dipisahkan oleh jarak, keadaan, atau kematian. Dan usia, ia terus berjalan menuju satu kepastian: ajal. Jika semua itu akhirnya pergi, apakah kita masih bersandar kepada dunia yang rapuh? Atau kita mulai belajar meletakkan hati pada sesuatu yang kekal pada Allah Yang Maha Hidup, yang tidak pernah mati, tidak pernah pergi, dan tidak pernah meninggalkan? Hidup ini bukan tentang berapa banyak kita mengumpulkan, melainkan berapa banyak kita menanam untuk akhirat. Dunia hanyalah ladang, akhiratlah panen. Dunia hanyalah perjalanan, akhiratlah tujuan. Maka betapa meruginya jika sepanjang jalan kita sibuk dengan kerikil dan debu, tetapi lupa pada rumah yang sedang kita tuju. Jangan biarkan hati terikat terlalu kuat pada yang fana. Ikatlah ia pada yang abadi. Jangan biarkan hidup habis dalam mengejar bayangan, tetapi isilah dengan amal yang akan menjadi cahaya di sisi Allah. Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita: "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah." (HR. Tirmidzi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun