Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Prolog Sang Hati: Menemukan Diri Diantara Kata "Maaf" & "Terima Kasih".

25 September 2025   21:52 Diperbarui: 25 September 2025   21:52 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Malam ini, di bawah cahaya temaram lampu kamar, pikiranku berkelana pada hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Bukan tentang impian besar atau kegagalan yang mengguncang, melainkan tentang sebuah ketakutan yang merayap perlahan dalam diriku: ketakutan untuk bersikap tidak sopan. Sebuah ketakutan yang mungkin terdengar remeh bagi sebagian orang, tapi bagiku, ia adalah cerminan dari sebuah prinsip yang mendalam. Aku takut, sungguh takut, jika suatu hari nanti, tanpa kusadari, aku kehilangan kepekaan untuk menghargai kehadiran orang lain. Betapa seringnya kita melihat orang-orang yang menganggap remeh hal-hal kecil, seperti senyum yang tulus, anggukan kepala sebagai tanda terima kasih, atau permintaan maaf yang jujur. Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Aku ingin setiap interaksiku meninggalkan jejak kehangatan, bukan kekosongan atau kedinginan. Perilaku baik, seremeh apa pun, adalah investasi yang paling berharga.

Aku merenungi momen-momen yang telah berlalu. Ada kalanya, dalam kesibukan atau kekalutan, aku lupa mengucapkan "terima kasih" pada orang yang telah membukakan pintu untukku, atau "maaf" saat tak sengaja menyenggol bahu seseorang. Dan setiap kali itu terjadi, sebuah sesal yang halus merayap. Bukan karena takut dihukum, melainkan karena aku tahu, di balik kelalaian kecil itu, ada hati yang mungkin merasa tidak dihargai. Hati yang seharusnya dilayakkan dengan sebuah pengakuan sederhana bahwa kehadirannya, sekecil apa pun perannya, berarti. Mengucapkan terima kasih atau maaf bukan hanya sekadar formalitas, melainkan jembatan yang menghubungkan dua jiwa. Jembatan yang mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam sebuah tatanan yang saling terikat, di mana setiap tindakan, setiap kata, memiliki bobotnya sendiri. Aku ingin jembatan-jembatan itu tetap kokoh, tidak runtuh karena kelalaianku.

"Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi." (HR. Muslim). Hadis ini selalu menjadi pengingatku. Bahwa keangkuhan, bahkan sekecil apa pun, dapat menjadi penghalang bagi kebaikan.

Kadang, ketakutan ini membuatku terlalu berhati-hati. Aku selalu memeriksa kembali perkataanku, memastikan tidak ada nada yang salah atau kata yang melukai. Aku bahkan sering berlatih mengucapkan "tolong" dan "maaf" dalam hati, seolah-olah itu adalah mantra yang harus selalu kuingat. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi aku yakin, ketulusan tidak bisa dipalsukan. Ia harus dilatih, dipelihara, dan dihayati. Aku tidak ingin keramahan ini hanya menjadi topeng. Aku ingin ia keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dari kesadaran bahwa setiap orang yang berpapasan denganku adalah individu yang berharga. Bahwa mereka pantas dihormati, pantas disapa dengan senyum, dan pantas menerima kebaikan, bahkan dari orang asing yang tak sengaja bertemu. Ini adalah caraku menghormati kemanusiaan itu sendiri.

Aku menyadari, ketidakmampuan untuk bersikap sopan seringkali berakar pada keegoisan. Keegoisan yang membuat kita merasa dunia berputar di sekitar kita, sehingga kita tidak perlu repot-repot menghargai orang lain. Kita terlalu sibuk dengan masalah kita sendiri, dengan tujuan-tujuan kita sendiri, hingga lupa bahwa di sekitar kita, ada perjuangan lain yang tak kalah beratnya. Dan sebuah "terima kasih" atau "maaf" bisa menjadi oase kecil di tengah gurun kekeringan emosi. Ia bisa menjadi setetes air yang menyegarkan, sebuah pengakuan bahwa kita melihat, kita peduli, dan kita menghargai. Aku tidak ingin keegoisan menguasai diriku. Aku ingin hatiku tetap lapang, mampu melihat dan merasakan kehadiran orang lain.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman: 18)

Ketakutanku ini bukan hanya tentang bersikap sopan, tapi lebih jauh lagi, tentang menjadi manusia yang utuh. Tentang memiliki empati yang tulus, tentang kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang "aku," melainkan tentang "kita." Aku ingin menjadi seseorang yang kehadirannya membawa ketenangan, bukan kegelisahan. Seseorang yang memberikan, bukan hanya menerima. Sikap sopan adalah langkah pertama, sebuah fondasi. Dan dari fondasi ini, aku ingin membangun sebuah karakter yang kuat, yang tidak mudah goyah oleh arogansi atau keangkuhan. Aku ingin menjadi pribadi yang rendah hati, yang tahu bahwa di atas langit masih ada langit, dan di atas kebaikan, ada kebaikan yang lebih besar lagi.

Sungguh, aku bersyukur karena ketakutan ini ada. Ia adalah pengingat yang berharga, sebuah alarm yang selalu berbunyi setiap kali aku mulai melenceng. Ia menjagaku dari sikap tidak acuh, dari hati yang mengeras, dari mata yang buta terhadap hal-hal yang sesungguhnya paling penting. Ada sebuah keindahan dalam kesadaran ini, sebuah keindahan yang membuatku merasa hidup. Karena kesadaran itu, "aku tahu ini sudah luar biasa." Menyadari bahwa setiap tindakan kecil memiliki makna, bahwa setiap ucapan memiliki bobot, adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju kebijaksanaan. Ini bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang terus berusaha menjadi lebih baik.

Dan malam ini, aku menuliskan semua ini sebagai janji pada diriku sendiri. Janji untuk selalu mengingat bahwa tidak ada yang terlalu sepele untuk dihargai. Janji untuk selalu menjaga lisan dan sikap, untuk selalu mengulurkan tangan dengan tulus, dan untuk selalu melihat setiap orang dengan mata penuh rasa hormat. Setiap interaksi, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk menabur kebaikan. Dan aku ingin menabur sebanyak-banyaknya. Karena pada akhirnya, apa yang kita tinggalkan di dunia ini bukanlah seberapa banyak yang kita raih, melainkan seberapa banyak kebaikan yang kita sebarkan. Dan itu dimulai dari hal-hal yang paling sederhana. Malam ini, aku tidur dengan hati yang lega, karena aku tahu, aku sedang dalam perjalanan yang benar.

"Akhlak yang mulia adalah cerminan dari iman yang kuat."  {Umar bin Khattab. r.a}

Malam ini, refleksi ini terasa begitu dalam. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk mereka yang paling kusayangi: keluargaku. Aku sadar, sikap dan tutur kataku, sekecil apa pun, akan menjadi cermin bagi mereka. Anak-anakku tidak hanya belajar dari apa yang kuucapkan, tapi juga dari apa yang kulakukan. Ketidakpekaanku pada hal-hal kecil bisa menjadi benih ketidakacuhan yang kelak tumbuh dalam diri mereka. Sebaliknya, kepekaan dan kerendahan hati yang kutunjukkan, meski dalam kondisi sulit sekalipun, akan menjadi pelajaran berharga yang mengendap dalam sanubari mereka.

Oleh karena itu, aku berjanji untuk lebih bijaksana. Menjaga lisan di tengah amarah, mengedepankan empati di tengah kekecewaan, dan selalu bersikap rendah hati. Aku ingin menjadi contoh nyata bahwa kebaikan adalah kekuatan, dan kesopanan adalah cerminan dari jiwa yang tenang. Biarlah segala ujian yang datang menjadi ajang untuk mengasah diri, bukan untuk meruntuhkan akhlak. Semoga aku bisa menjadi teladan yang baik, yang selalu peka dan bijaksana dalam setiap langkah, agar keluargaku dapat tumbuh menjadi pribadi yang juga berakhlak mulia.

Di luar sana, langit mulai menggeliat, seolah tak lagi sanggup membendung segala resah. Gema guntur perlahan menggulir, bukan untuk menakuti, melainkan untuk mengawali sebuah orkestra agung. Ini adalah panggilan alam, pertanda bahwa hujan penyembuh insomnia yang telah lama dinanti sedang dalam perjalanan. Ia akan datang membawa detoksifikasi untuk bumi, membasuh segala debu dan noda yang menempel di sepanjang hari. Dari balik jendela, aku memandang keluar, membayangkan edelweis yang sepanjang hari menunduk sendu. Ia telah menanggung begitu banyak beban, dari teriknya mentari hingga bisikan angin yang lelah. Kini, hujan akan menjadi selimutnya, membasuh setiap helai kelopaknya dengan lembut, membersihkan segala kepedihan yang tersimpan. Malam ini, edelweys itu akan terlelap dalam tidur yang paling damai, ditemani nyanyian rintik hujan yang menenangkan. Maka, biarkan malam ini menjadi saksi. Biarkan setiap kekhawatiran yang menumpuk ikut hanyut bersama air mata langit. Serahkan segala resah pada-Nya, dan sambutlah kedamaian yang datang. Karena setelah badai, akan ada ketenangan. Setelah edelweys beristirahat, ia akan kembali mekar dengan keindahan yang baru...

||Dalam Ruang Rindu Edelweys||Lamasi Timur 25 September 2025||

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun