Mohon tunggu...
Agus Salim Jombang
Agus Salim Jombang Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Hadir untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pemilu Jujur Rakyat Makmur

30 April 2019   10:14 Diperbarui: 30 April 2019   15:58 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan" menuju "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Itulah sila keempat dan kelima Pancasila yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia. Tentu pemilihan umum ~termasuk Pimilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Legislatif, baik DPR RI, DPD, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II~ merupakan amanah dari sila tersebut dan amanah UUD 1945. Sehingga pemilu merupakan suatu keharusan yang dibutuhkan untuk memilih wakil rakyat dalam parlemen sebagai kekuasaan legislatif serta untuk memilih Bupati/Walikota, Gubernur, bahkan Presiden serta wakilnya sebagai kekuasaan eksekutif. 

Nah pelaksanaan pemilu serentak Rabu, 17 April 2019 ~sampai saat ini~ masih menyisakan permasalahannya yang beragam: isu kecurangan dengan beragam kasus, gonjang-ganjing quick count, sampai isu netralitas penyelenggara pemilu yang dipertanyakan. Dan isu yang paling hangat adalah korban nyawa yang menimpa petugas KPPS, Panwaslu, hingga petugas keamanan saat melaksanakan pemilu yang luaar bisa. Sebab membutuhkan waktu yang cukup lama mulai dari pelaksanaannya hingga penghitungannya. Dimana pelaksanaan pencoblosan mulai pukul 07.00 -- 13.00 dan penghitungannya mulai pukul 13.00 hingga selesai ~sampai pelaporannya dari TPS-TPS ke PPS~ ada yang selesai hingga pukul 07.00. Oleh karena itu, lembaga pelaksana pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum dituntut untuk melaksanakan amanah tersebut dengan baik dan benar.

Perjalanan sejarah jangan pernah dilupakan, agar tujuan berbangsa dan bernegara yang telah dicetuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa ini dapat kita warisi dan pedomani guna mewujudkan cita-cita luhur. Demokrasi merupakan pilihan bersama untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif atau di lembaga eksekutif dan dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara sampai saat ini memiliki multi partai, kecuali saat orde baru ~partai politik difusikan menjadi tiga, yaitu: PPP, Golkar, dan PDI. Namun Golkar saat itu dinyatakan bukan sebagai partai politik, tetapi berpolitik. Memang sabda pandhita ratu, yaitu ucapan pemimpin sebagai undang-undang, walau tak tertulis namun memiliki kekuatan tersendiri. Tentu sampai saat ini dan sampai kapanpun, sebab dalam kenyataannya penguasa atau pemimpin di seperti "Dewa."

Demokrasi sebagaimana dalam konsepnya adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Tentu tidak mungkin dalam sejarah kemanusian, bahwa demokrasi tersebut ~demokrasi langsung~ bisa diselenggarakan. Dan sesuai amanah undang-undang serta sila keempat Pancasila, bangsa dan negara kita menganut demokrasi perwakilan. Dimana kekuasaan tertinggi yang dijalankan melalui sistem perwakilan. Rakyat memilih anggota dewan dan nanti anggota dewan merumuskan perundang-undangan yang diberlakukan untuk seluruh warga negara.

Konon sebelum diamandemen para wakil kita di parlemenlah yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun kini rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota secara langsung melalui Pilpres atau Pilkada. Memang dunia dan segala sesuatu itu bisa berubah, sebab dalam rumuss kehidupan itu "Tidak ada yang abadi, kecuali perubahan." Namun jika kita ingin hidup adil dan makmur, maka sepatutnyalah setiap perubahan itu harus menuju kepada kebaikan, kedamaian, dan untuk kemaslahatan bersama.

Oleh karena itu pilihlah wakil rakyat yang merakyat. "Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat." Itulah penggalan lirik lagunya Iwan Fals, tentu itu terjadi saat zaman orde baru. Apakah terjadi saat ini? Tentu memerlukan penelitian dan pembuktian tentang hal-hal tersebut. Namun penulis tidak pernah mendengar diantara anggota dewan yang memakili kita atau fraksi yang ada di parlemen angkat bicara saat harga BBM naik, listrik naik, pajak naik. Ataukah suara mereka tidak terakses oleh media? Wallahu A'lam bis shawwab.

Mengapa hal tersebut terjadi? Mungkin karena kita telah menjual suara kita dengan harga ratusan ribu atau kisaran jutaan rupiah bagi para makelar pedagang suara rakyat. Dimana saat pimilu kita memilih wakil kita hanya berdasar siapa yang membeli suara kita atau siapa yang memberi amplop kepada kita. Sehingga dikritik oleh Gus Mus, Kyai Musthafa Bisri dalam puissinyaa "Negeri Amplop."

Jika itu memang benar, maka demokrasi kita telah berubah menjadi demokrasi plutokrat, yaitu sistem demokrasi yang dikuasai oleh orang yang kaya atau bermodal. Dan jika itu yang terjadi, maka jangan salahkan jika negeri ini rakyatnya semakin hancur dan jangan berharap bisa makmur. Oleh karena itu ayo kita semua komponen bangsa dan negara untuk jujur sehingga sila kelima Pancasila bisa terwujud. @GUSSIM99

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun