Mohon tunggu...
Agus Sujatno
Agus Sujatno Mohon Tunggu... Pejalan kaki

Kendati tidak pandai menyusun kata, menulis merupakan salah satu caraku untuk membahasakan diam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menanti Kiprah Menteri Haji

11 September 2025   10:51 Diperbarui: 11 September 2025   10:51 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bebarengan dengan mengganti 5 menterinya pada Senin (8/9), Presiden Prabowo Subianto juga mengumumkan penambahan satu kementerian baru, Kementerian Haji dan Umroh. Kabar tentang hal ini sebetulnya telah berhembus sejak awal tahun pemerintahan Prabowo Subianto. Namun realisasi hadirnya kementerian yang khusus menangani haji dan umroh baru dideklarasikan saat ini.

Hadirnya kementerian haji dan umroh, tentu akan membawa harapan baru dalam penyelenggaraan ibadah suci umat islam. Ekspektasi ini nampaknya juga linier dengan hasil penyelenggaraan haji musim 1446 H, yang dianggap mengalami peningkatan dalam hal pelayanan. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) 2025 mencapai score 88.46 (sangat memuaskan). Angka ini sedikit meningkat dibanding IKJHI 2024 yang mencatat score 88.20.

Terlepas dari score fantastis yang dirilis, sejatinya ada beberapa pe-er yang harus segera dikerjakan oleh kementerian yang dipimpin Mochamad Irfan Yusuf (Gus Irfan). Pertama; antrian calon jemaah haji. Jika mengacu pada laman Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia per September 2025, maka umat Islam di Indonesia harus menunggu belasan hingga puluhan tahun untuk bisa melaksanakan rukun Islam kelima!. Kisarannya antara 10 -- 20 tahun dari sejak mendaftar. Bahkan ada yang mencapai 30an tahun. Antusiasme masyarakat Indonesia untuk berangkat haji, menjadi salah satu pemicu munculnya antrian lama. Selain terbatasnya kuota dan kemudahan yang ditawarkan. Pertanyaan selanjutnya, siapa atau lembaga independen mana yang mengawasi antrian tersebut?

Kedua; persoalan pelanggaran hak calon jemaah haji sebagai konsumen. Mulai dari kualitas dan pelayanan di asrama haji, keterlambatan pesawat atau moda transportasi darat lain, jarak pemondokan dari Kabah, sampai kualitas makanan.

Ketiga; Persoalan haji furoda. Iming-iming segera berangkat haji tanpa harus menunggu antrian panjang, nampaknya menjadi daya tarik bagi sebagian calon jemaah haji kendati dengan biaya lebih tinggi. Namun, kasus gagal berangkatnya ribuan calon jemaah haji furoda 2025 menjadi catatan panjang pelanggaran hak-hak calon jemaah haji sebagai konsumen. Hal yang perlu dipahami, bahwa haji furoda merupakan haji dengan visa undangan khusus, dengan demikian sangat bergantung pada pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Informasi ini yang urgen untuk disampaikan sejak awal pada calon jemaah haji.

Keempat; fenomena perjalanan umroh dengan biaya lebih murah. Nampaknya iming-iming harga masih menjadi daya tarik masyarakat indonesia, tak terkecuali yang hendak melaksanakan ibadah suci. Alhasil, banyak calon jemaah yang akhirnya harus gigit jari karena batal berangkat umroh, dan uang menguap tak kembali. Persoalan ini juga wajib menjadi menu utama dalam penataan penyelenggaraan ibadah umroh oleh Kementerian Haji dan Umroh. 

Namun, ironisnya bagi calon jemaah haji berbagai pelanggaran di atas acapkali bukan dianggap sebagai persoalan melainkan sebagai cobaan dari Tuhan untuk menguji ketaqwaan. Padahal buruknya manajemen karena keteledoran manusia dengan cobaan dari Tuhan merupakan dua hal yang berbeda.

Terkait dengan beberapa pe-er diatas, maka dibutuhkan langkah-langkah konkrit dari Kementerian Haji dan Umroh. Disisi lain yang perlu dipahami bahwa terdapat dua aspek dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umroh. Pertama; aspek spriritual sebagai cerminan melaksanakan rukun iman dan kepatuhan terhadap Allah. Kedua; aspek manajemen bisnis sebagai bagian dari supporting penyelenggaraan ibadah haji dan umroh. Aspek manajemen bisnis inilah yang memiliki potensi sangat besar dalam pelanggaran hak-hak calon jemaah haji. Hal inilah yang butuh pembenahan secara berkelanjutan. Bagi calon jemaah haji dan umroh sebagai konsumen, maka besaran biaya yang harus dibayar dalam pelaksanaan haji atau umroh idealnya berbanding lurus dengan tingkat pelayanan yang diterima.

Agus Sujatno

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun