Sebagai penulis sastra, saya sering ditantang: "Buat karya sastra yang mirip Quran! Ribuan sastrawan dikumpulkan tidak akan ada yang bisa menghasilkan karya seperti Quran! Karena Quran adalah karya Tuhan, bukan karya manusia!"
Kalimat semacam itu sering kita dengar di forum keagamaan, khutbah, bahkan media sosial. Ia diulang-ulang hingga menjadi kebenaran yang seolah tak terbantahkan: tidak ada yang bisa menandingi Alquran.
Tapi benarkah demikian? Atau jangan-jangan klaim itu lebih banyak berdiri di atas iman dan otoritas sosial, bukan pada kenyataan teknis?
Mari mulai dari hal paling dasar: bahasa.
Alquran disusun dalam bahasa Arab klasik dengan gaya unik---penuh rima, repetisi, irama, dan metafora. Pada abad ke-7, ketika tradisi syair Arab hanya mengenal pola-pola tertentu, kehadiran Alquran jelas mengejutkan. Tak heran bila masyarakat kala itu menyebutnya luar biasa, bahkan mustahil ditiru.
Tapi konteks itu penting: di abad ke-7.
Hari ini, manusia memiliki ilmu linguistik, analisis sastra, teknologi komputer, dan bahkan kecerdasan buatan. Pola-pola bahasa bisa dipetakan dengan presisi. Struktur kalimat, panjang ayat, repetisi kata, hingga resonansi bunyi bisa diuraikan, dipelajari, lalu direplikasi.
Apakah kita masih bisa bilang mustahil? Jawabnya secara teknis: tidak.
Kecerdasan buatan (AI) kini mampu menghasilkan teks yang sangat mirip gaya quranik. Masukkan data bahasa Arab klasik, latih model dengan ribuan syair dan ayat, lalu mintalah AI menulis. Hasilnya: teks dengan rima serupa, dengan nuansa sakral yang nyaris identik.
Bahkan tanpa AI, banyak penulis Arab modern bisa menulis prosa puitis yang "quranik" dalam rasa dan ritmenya.