Beberapa saat ini saya sedang penasaran dengan dua hal, yang satu adalah apa yang disebut di google sebagai aplikasi goblok, yaitu ‘Tik Tok’ dan ke dua adalah ‘muser’. Mungkin bagi Anda yang seumuran dengan saya tidak banyak tahu apa itu Tik Tok dan muser, namun bagi mereka yang lahir di atas tahun 2000-an dipastikan tahu dua hal tersebut.
Sebagai aplikasi, oke lah hal tersebut dapat dikatakan sebagai kreatifitas si pembuat aplikasi yang kemudian digunakan oleh banyak orang. Namun sekali lagi, perkembangan teknologi yang tidak digunakan secara bijak dapat menyebabkan terjadinya budaya yang biadab dan bukannya budaya yang beradab.
Bagi sebagaian orang mungkin adanya Tik Tok dan pengguna musical.ly (muser) merupakan kegiatan iseng yang dapat membuat tertawa. Namun bagi anak-anak yang sedang tumbuh mencari identitas, adanya aplikasi tersebut dapat merupakan sarana dalam rangka memenuhi obesesinya menjadi bintang terkenal. Bagaimana tidak terobsesi menjadi terkenal? Follower banyak dan dielu-elukan sebagai bintang. Kemudian ditambah lagi digunakan sebagai alat oleh manajemen artis tik tok dan muser sebagai alat penghasil uang.
Sebagai artis Tik Tok yang tadinya iseng, nama Nuraini menjadi viral setelah ia memulai tik toknya sebagai pasangan dari Iqbal (bintang dari film Dilan) yang kemudian membawanya dipanggil ke berbagai acara talk show di televisi.
Dalam kasus Nuraini ia menjadi terbantu dari sisi ekonomi karena kemudian ia diminta untuk endors beberapa produk lewat media sosialnya. Namun sekali lagi, Nuraini tetap tidak mempunyai keahlian apa-apa dari video tik tok tersebut. Fenomenalnya hanya karena followernya menjadi banyak.
Yang ke dua adalah fenomena anak yang bernama Bowo. Ia juga menjadi artis tik tok dan muser yang banyak dielu-elukan fans cewek-ceweknya.
Lebih parah lagi adalah umur fans-fans Bowo yang rata-rata juga seumuran dengannya sudah mempunyai pemikiran untuk menjadikan Bowo sebagai idola ekstrem.
Dalam beberapa caption di Instagram mengatakan akan membuat aliran ‘agama Bowo’ dan Bowo diangkat sebagai Tuhan.
Bagi sebagian orang tua mungkin akan mengatakan, “Ah itukan hanya omongan anak-anak.” Namun dari sinilah kita semua patut prihatin dengan perkembangan sikap dan perilaku anak-anak yang seolah-olah tidak terkontrol.
Artis muser lainnya ada yang bernama Aisyah Aqilah. Bagi anda yang tidak memasang aplikasi tik tok dan musical.ly tentu tidak akan tahu mereka, karena mereka hanya menjadi artis idola di aplikasi tersebut.
Nah, satu hal yang patut dikritisi lagi adalah peran manajemen (entah siapa yang punya ide untuk membuat manajemen mereka), yang jelas beberapa kegiatan yang diadakan seperti ‘meet & greet’ diadakan dengan hanya untuk uang.
Saya mengatakan hanya untuk uang karena ‘meet & greet’ atau jumpa artis tik tok dan muser tersebut tidaklah gratis alias berbayar dan rentang bayaran yang diminta adalah 80 ribu sampai 500 ribu.
Apakah tidak boleh ‘meet & greet’ berbayar? Tentu tidak ada yang melarang. Namun masalahnya adalah tanggung jawab moral penyelenggara yang akan memberikan ‘add values’ kepada yang hadir.
Kalau seorang penyanyi, tentu dia akan memberikan hiburan dengan suara emasnya dan promo album barunya. Atau kalau seorang penulis buku, bayaran yang dikenakan adalah untuk harga buku baru yang akan dibagikan.
Nah kalau artis tik tok dan muser? Apa yang mau ditunjukkan dalam live show mereka? Dalam hal ini seakan-akan manajemen yang menyelenggarakan hanya memanfaatkan follower yang rata-rata masih SMP dan hanya ingin foto bersama.
Coba kita tengok salah satu fasilias yang ditawarkan dalam ‘meet & greet’ artis muser tersebut:
VVIP 250K dengan fasilitas: duduk paling depan, selfie 5 kali, makan dan minum, Q&A.
VIP 150K dengan fasilitas: duduk bagian tengah, selfie 3 kali, makan dan minum, Q&A.
REGULER 80K dengan fasilitas: duduk bagian belakang, selfie 1 kali, snack dan minum.
Saya mempunyai tiga orang anak dan sebelum menulis ini saya bertanya terlebih dulu kepada mereka tentang fenomena tik tok dan muser. Jawaban anak-anak saya hampir sama semua yaitu mereka yang ingin mendadak terkenal dan tidak punya keahlian. Jadi mereka hanya memanfaatkan aplikasi untuk mencari follower yang banyak lewat video yang mereka bagikan.
Di sini saya dan mungkin anda sebagai orang tua dituntut peran dalam menyertai anak-anak untuk lebih memahami arti dari makna menjadi terkenal sehingga mereka tidak terkena ‘star syndrome’ sehingga hanya ingin semua serba instan.
Di sisi lain, para manajemen yang memanfaatkan munculnya para artis dadakan sebaiknya juga tidak hanya berpikir tentang uang, namun membina mereka untuk menemukan potensi dan mengasah keahliannya sehingga mereka mempunyai nilai tambah yang berguna daripada hanya sekedar melakukan tiruan nyanyian dan itupun tidak menggunakan suaranya sendiri.
Saya juga mengungkapkan keprihatinan saya melihat dokumentasi beberapa acara ‘meet & greet’ yang hanya menawarkan kesempatan selfie bersama artis tik tok dan muser. Lalu ada yang juga yang menarik bayaran dengan fasilitas makan siang bersama artisnya.
Bila anak anda berkata kepada anda, “Pa, Ma, minta uang 500 ribu ya, ini mau selfie dan makan siang dalam meet & greet bersama artik tik tok dan muser.”
Apa reaksi anda?