Mohon tunggu...
Agung Setiawan
Agung Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Pendidikan dan Humaniora

Mengajar di SMP Negeri 1 Bunguran Selatan Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Darurat Literasi, Salah Siapa?

12 Maret 2022   01:32 Diperbarui: 6 April 2022   22:00 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disaat arus informasi yang semakin gencar, dapat diakses dengan mudah, murah, dimanapun dan kapanpun, kegiatan literasi bagi sebagian generasi muda cenderung diartikan sebatas sebagai kegiatan membaca saja. Dari sepuluh orang mahasiswa yang penulis survey tentang pengertian literasi, mereka semua kompak menjawab bahwa literasi adalah membaca. Padahal tentu kegiatan berliterasi tidak dapat diartikan sesempit itu.


Dulu di awal tahun 2010-an, sangat sedikit atau bahkan jarang sekali teman-teman mahasiswa di kampus penulis yang senang dan tekun untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan pergi ke perpustakaan. Di masa itu, perpustakaan-perpustakaan cenderung sepi, hening, bahkan penuh kutu buku karena bukunya jarang dibuka terlebih dibaca.


Perpustakaan saat itu suasananya tidak berubah dari hari ke hari. Bahkan, ketika diberi tugas-tugas kuliah berupa makalah oleh dosen, sangat sedikit teman yang mau saya ajak mengerjakan tugas di perpustakaan. Mulai dari alasan migrain, pilek, alergi AC dan alasan-alasan tak masuk akal senang dilontarkan oleh teman-teman kampus. Penjaga perpus pun akhirnya lebih sibuk untuk menyetel lagu-lagu lawas untuk mengusir bosan karena sepinya pengunjung. Pengunjung yang sekali-kali datangpun hanya untuk berselfi ria di depan rak buku sekedar untuk posting status di Blackberry Messengger ataupun ganti profil Facebook ala anak kuliah tahun 2010 an.


Usut punya usut, teman-teman kuliah tadi cenderung lebih senang untuk mengerjakan tugas ke warnet. Bukan karena mereka tidak memiliki laptop dan komputer ataupun speed internet saat itu yang belum sekencang sekaang, tapi mereka lebih senang meminta tolong ke mas-mas warnet. Lebih simpel dan murah kata-nya. Lebih simpel karena tidak perlu mengerjakan dan lebih murah dari biaya berobat jika harus berobat karena begadang mengerjakan tugas-tugas nya tadi.


Beda kawan laki-laki, beda pula alasan kawan-kawan perempuan. Mereka menganggap tugas yang menumpuk akan membuat mereka lebih gendut. Dan biaya untuk pergi senam dan biaya beli skin care jauh lebih mahal dibanding menyewa jasa mas-mas warnet tadi. Lah.

Dua kenyataan di atas jelas bukanlah dua contoh yang baik, akan tetapi sedikit portret bahwa pada masa itu kami adalah potret dari generasi minim literasi, generasi yang cenderung kaget dengan digitalisasi dan modernisasi ditambah minimnya literasi tadi sehingga membuat pola pikir kami cenderung ke pola pikir yang memble, tidak mau susah, cenderung praktis. Pola pikir ujungnya menyusahkan diri sendiri.

Mungkin saya dan teman-teman saya tadi adalah gambaran produk mahasiswa dengan tingkat literasi rendah. Sampel mahasiswa yang dulu digunakan PISA untuk menjadi tolok ukur yang akhirnya melemparkan Indonesia menduduki peringkat bawah dari negara-negara yang di survey. Dikutip dari laman https://indonesiapisa.com/profil/ Pada tahun 2000, Indonesia berada pada peringkat 38 dari 41. Pada tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat 38 dari 40 negara. Pada tahun 2006, Indonesia berada pada peringkat 50 dari 57 negara. Pada tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat 60 dari 65 negara. Dan pada tahun 2012, Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara. Pada tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara serta di tahun 2018 Indonesia berada pada peringkat terakhir dari 69 dari 77 Negara. Data tersebut menjelaskan bahwa hasil pencapaian peserta didik Indonesia pada literasi sains belum mengalami kemajuan bahkan pada tahun 2019 Indonesia menduduki peringkat 8 terendah. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia saat ini sedang mengalami krisis literasi dan ini merupakan permasalahan yang serius. Oleh karena itu seluruh pemangku kepentingan di semua jenjang pendidikan perlu turut berperan dalam peningkatan literasi.

Kegiatan literasi sebenarnya sangat luas. Literasi mengajak manusia tidak hanya untuk membaca, tapi juga memahami dunia. Literasi menghasilkan generasi-generasi dengan pemikiran kritis dan produktif. Generasi-generasi yang gemar berliterasi akan lahir menjadi generasi-generasi unggul. Generasi-generasi yang diharapkan akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dikemudian hari. Atau minimal bangsa ini tidak sesusah sekarang.

Program darurat literasi serta solusi-solusi untuk mengatasi kedaruratan literasi harus terus digencarkan mulai dari sekolah-sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan-perguruan tinggi. Program literasi harus dicanangkan dengan output yang jelas, masif, terarah dan berkelanjutan sehingga di masa depan, minimal generasi-generasi yang akan datang tidak lagi menjadi generasi -generasi penonton, atau sekadar menjadi generasi penggembira di kancah persaingan nternasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun