Mohon tunggu...
Agung Wasita
Agung Wasita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arif Bijaksana Menuju Harmoni

26 Desember 2019   18:38 Diperbarui: 26 Desember 2019   18:34 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada apa dengan toleransi di negara kita ? Apakah toleransi yang sudah terajut selama ini sedang alami masalah ? atau ada hal lain yang terjadi pada kita sebagai bangsa ?

Beberapa orang mengatakan bahwa saat ini kita bermasalah dengan toleransi. Mereka mengatakan bahwa pada masa orde baru toleransi kita jauh lebih baik dari saat ini. Terbukti pada masa itu umat kristiani dapat beribadah dengan bebas. Bom juga jarang ada.

Pendapat seperti ini bisa saja dikemukakan. Tapi mungin dia lupa bahwa pada masa itu rezim yang berkuasa adalah rezim yang dominan dengan represif. Mungkin bagi ukuran agama yang diakui, keadaannya cukup menyenangkan. Tapi bagi yang tidak atau belum diakui keadaannya cukup mengkhawatirkan bahkan cenderung menakutkan.

Seperti kita tahu, agama yang diakui saat itu adalah lima agama yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan agama yang baru diakui pasca reformasi dan diresmikan oleh Gus Dur sebagai Presiden adalah agama Kong Hu Cu.

Kini, beberapa aliran kepercayaan juga diakui oleh negara seperti Kejawen, Sunda Wiwitan dan beberapa aliran kepercayaan lain. Singkat kata agama yang mungkin alami "pemindasan" pada zaman Soeharto kini bisa bernafas lega karena dapat dengan mudah melaksanakan kewajibannya.

Diakui atau tidak, reformasi memang mengubah banyak hal ditambah dengan teknologi yang kadang mengacaukannya. Di sisi lain, negara semakin banyak dan luas memahami kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat.

Di titik ini kita melihat para pemuka agama punya tafsiran yang berbeda-beda terhadap satu ajaran atau ayat. Ini karena informasi yang terbuka luas dan dapat diakses sendiri. Persoalannya adalah tafsiran-tafsiran itu bisa jadi merupakan tafsiran sendiri yang kemudian diikuti oleh umat.

Hal ini dimungkinkan karena masing-masing pemuka agama bisa dengan mudah mensyiarkan ajarannya kepada umat dengan cara konvensional maupun dengan sosial media, sehingga dengan mudah mereka mendengar dan kemudian mamahaminya.

Celakanya karena tidak semua pemuka agama berpandangan arif dan punya nilai kebangsaan yang sama , mereka seringkali mengajarkan sesuatu yang bersinggungan dengan nilai-nilai masyarakat. Ini termasuk nilai sosial berkehidupan di Indonesia yang saling menghormati dan menghargai. Karena ajaran yang tidak tepat tafsirannya sehingga toleransi kita juga berbeda arah.

Alangkah baiknya jika apa yang dihadapi oleh bangsa kita ini -- apapun itu -- dihadapi dengan  hati yang bening, arif dan bijaksana. Kita pada tahap bangsa yang menuju dewasa sehingga pemicu perpecahan seharusnya tidak ada lagi. Bukankah kita ingini negara yang harmoni ?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun