Soal bagaimana lika-liku peraturan di sekolah berbasis agama pasti menarik untuk dikupas. Misalnya, apakah peraturan sekolah/ yayasan berlaku mutlak ataukah ada diskresi bagi mereka yang berbeda agama.Â
Sebelum ikut pembelajaran secara resmi tentunya ada dialog dahulu tentang konsekuensi yang harus dipatuhi seluruh siswa.
Yefri Heriani, Ombudsman Sumbar:
"Kami memanggil Kepala Sekolah SMK 2 Padang ini terkait informasi pemaksaan menggunakan jilbab bagi siswa non-muslim di sekolah tersebut."Â
Ngomong-ngomong konsekuensi menjadi siswa di satu sekolah, saat ini lagi ramai menjadi perbincangan yaitu kasus aturan berjilbab di SMK 2 Padang. Ada lima siswi non-muslim yang merasa tidak perlu mengikuti aturan itu sementara pihak sekolah justru mengatakan bahwa hal itu wajib.Â
Elianu Hia, pihak orang tua salah satu siswi lantas mengunggah video ketika dirinya dipanggil oleh sekolah. Perdebatannya yang berkisar di seputar aturan siswi berjilbab kemudian menuai komentar massif netizen Facebook.Â
Ombudsman Perwakilan Sumbar pun akhirnya turun tangan, pihak sekolah kemudian gantian yang dipanggil untuk memberikan penjelasan (sumbar.suara.com).
Sekolah memang berhak membuat peraturan dan tata tertib di lingkungannya. Tetapi mengingat SMA 2 Padang itu sekolah negeri, bukan yayasan, tampaknya argumen orang tua siswi yang dipaksa berjilbab itu lebih kuat dan masuk akal.
Alasan pihak sekolah bahwa jilbab itu adalah kesepakatan yang harus ditaati guru dan siswa memang benar karena terjadi saat awal siswa masuk lembaga itu. Namun apa yang melandasi kesepakatan itu sendiri harus dipertanyakan.
Sebagai sekolah negeri tentunya SMK 2 Padang harus taat kepada ketentuan konstitusi. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seluruh warga negara memiliki hak yang sama untuk menjalankan ajaran masing-masing. Begitu pula soal pelaksanaan ajaran agama itu sendiri; tidak boleh untuk dipaksa-terapkan untuk civitas yang beragama berbeda.
Lain halnya jika SMK 2 Padang itu adalah sebuah lembaga pendidikan di bawah yayasan yang bercorak keislaman misalnya. Jika demikian maka aturan berjilbab untuk siswi dan guru perempuannya adalah legal juga secara hukum karena bertujuan untuk menjalankan ajaran Islam dalam lingkungan komunitas umat Islam sendiri.
Karena kesepakatan yang dianggap peraturan itu sendiri bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, semestinya hal itu batal dengan sendirinya. Bukan berarti ajaran agama ada di bawah negara, tetapi kesepakatan-kesepakatan dalam bernegara itulah yang merupakan sumber hukum tertinggi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Logikanya begini. Misalnya kita naik kendaraan di mana seluruh penumpang diwajibkan taat pada aturan sopir. Tetapi ketika sopir menerabas lampu merah atau melawan arus apakah penumpang juga wajib taat?Â