Kabupaten Kerinci, Jambi, dikenal sebagai salah satu wilayah yang masih menjaga kekayaan budaya Islam yang kental. Salah satu tradisi keagamaannya yang unik dan terus hidup hingga kini adalah Ratib Saman, atau dalam bahasa lokal disebut juga Ratib Tegak. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang spiritual, tapi juga wadah silaturahmi masyarakat. Meski demikian, keberadaannya juga mengundang kontroversi di tengah umat Islam. Lantas, bagaimana sebetulnya praktik Ratib Saman ini, dan di mana letak titik perdebatan?
Asal-Usul dan Pelaksanaan Ratib Saman
Ratib Saman adalah bentuk zikir berjamaah yang dilakukan dalam posisi berdiri dan bergerak ritmis. Biasanya dilakukan setelah ziarah kubur saat hari kedua Lebaran atau pada momen tertentu di Kerinci. Ratib ini berasal dari Thariqah Sammaniyah, didirikan oleh Syekh Muhammad Samman al-Madani, seorang ulama sufi besar yang hidup di Madinah pada abad ke-18.
Dalam pelaksanaannya, para peserta berdiri dalam barisan, mengucapkan kalimat zikir, pujian kepada Allah dan Rasulullah, serta gerakan tangan atau tubuh yang selaras dengan irama bacaan.
Nilai Spiritual dan Sosial Ratib Saman
Tradisi ini dianggap memiliki nilai-nilai edukatif dan spiritual yang tinggi. Di antaranya:
Menguatkan ingatan terhadap Allah (dzikrullah).
Meningkatkan ukhuwah islamiyah antarwarga desa.
Menanamkan kecintaan kepada Rasulullah melalui sholawat.
Meningkatkan kebersamaan dan kedisiplinan dalam ibadah.