Mohon tunggu...
agung permadi
agung permadi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Habi saya mancing

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum bank syariah di era digital : menjaga prinsip di tengah inovasi

24 Juni 2025   12:02 Diperbarui: 24 Juni 2025   12:02 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi digital telah menjadi pendorong utama transformasi dalam berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali industri perbankan. Di tengah arus digitalisasi yang masif, bank syariah sebagai lembaga keuangan berbasis prinsip Islam dituntut untuk tidak hanya mengikuti perkembangan zaman, tetapi juga tetap menjaga integritas hukum syariah sebagai fondasi utama operasionalnya.

Secara prinsip, bank syariah berbeda dari bank konvensional karena berlandaskan pada hukum Islam yang mengharamkan riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), dan maisir (spekulasi atau judi). Aktivitas perbankan syariah harus dilakukan melalui akad-akad yang sah seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan wakalah. Maka, ketika teknologi digital mulai diterapkan dalam layanan perbankan, hal ini bukan hanya menjadi tantangan teknis, tetapi juga tantangan fiqhiyah.

Digitalisasi perbankan syariah tentu diperbolehkan secara hukum, selama tidak menyalahi prinsip-prinsip dasar syariah. Akad-akad berbasis syariah tetap bisa dilakukan secara daring (online), asalkan memenuhi rukun dan syaratnya. Misalnya, dalam transaksi murabahah secara digital, harus tetap ada kejelasan barang, harga, dan kesepakatan kedua belah pihak. Tidak cukup hanya dengan klik atau tanda centang di aplikasi, tetapi juga perlu mekanisme yang menjamin keabsahan akad secara syariah.

Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) telah merespons kebutuhan zaman dengan mengeluarkan fatwa-fatwa terkait keuangan digital syariah. Ini membuktikan bahwa hukum Islam bersifat fleksibel, adaptif, dan mampu menjawab tantangan kontemporer, selama esensinya tetap dijaga.

Namun, kemajuan teknologi juga membawa risiko. Penggunaan teknologi otomatis seperti artificial intelligence (AI), kontrak pintar (smart contract), dan platform digital peer-to-peer lending dapat memunculkan ketidakjelasan dalam niat, akad, maupun tanggung jawab para pihak. Jika tidak dikawal dengan baik, hal ini bisa melanggar prinsip-prinsip muamalah Islam secara tidak disadari.

Di sinilah peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam bank syariah menjadi sangat penting. DPS harus memiliki kemampuan ganda: memahami fikih muamalah dan menguasai aspek teknologi digital. Kolaborasi dengan regulator seperti OJK dan BI juga diperlukan untuk memastikan bahwa sistem digital tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Era digital pada dasarnya bukan ancaman, tetapi peluang besar bagi bank syariah untuk menjangkau masyarakat lebih luas, meningkatkan efisiensi layanan, serta menghadirkan solusi keuangan yang modern dan etis. Tantangannya adalah bagaimana memadukan kemajuan teknologi dengan kepatuhan syariah tanpa saling meniadakan.

Kesimpulannya, hukum bank syariah di era digital tetap berlaku secara utuh. Teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti prinsip. Maka, digitalisasi harus diiringi dengan kesadaran hukum, pengawasan yang ketat, dan pembaruan ijtihad agar bank syariah tetap relevan, kompetitif, dan sesuai dengan tuntunan syariah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun