"Di era banjir informasi, kepemimpinan sejati terletak pada keberanian memilih yang bernilai dan berani menyaring yang sia-sia."
Saya pernah masuk ke sebuah ruangan bagian keuangan di sebuah kota besar di Sumatera. Waw ! Di meja dan di ruangan kantor itu begitu penuh dengan memo. Dari luar, kertas-kertas itu tampak rapi, bahkan meyakinkan. Tapi ketika dibuka, isinya dangkal, membingungkan. Alhasil, saya jadi lelah, karena cukup memakan waktu yang lama hanya untuk memilah mana yang berguna.
Itulah realitas baru yang disebut workslop, banjir konten "sampah kerja" hasil AI generatif.
Alih-alih mempermudah, justru menambah beban. Alih-alih mempercepat, malah memperlambat. Dan inilah peringatan keras yang sudah disampaikan dari riset Harvard Business Review (HBR), Stanford, dan BetterUp Labs.
Dari Janji Efisiensi ke Biaya Kebisingan
AI generatif, seperti ChatGPT, Gemini, dan konco-konconya, muncul dengan janji besar dan wah. Sekali perintah, ribuan kata lahir. Sekali klik, ide visual tercipta. Namun, penelitian terbaru mengungkap, janji efisiensi itu bisa berubah jadi jebakan.
HBR menyebut fenomena ini sebagai workslop: ledakan laporan, memo, atau presentasi yang tampak formal, tetapi kosong makna. Konten yang seolah "jadi" dalam hitungan detik, tetapi membuat pembaca mengernyit, "Maksudnya apa?"
Data Stanford-BetterUp menunjukkan, 40 persen pekerja profesional di AS menerima konten workslop setidaknya sekali sebulan.
Setiap dokumen dangkal itu menghabiskan 1-2 jam untuk diperiksa ulang. Jika dikalkulasikan, perusahaan dengan 10.000 karyawan bisa kehilangan lebih dari 9 juta dolar AS per tahun hanya untuk "membersihkan sampah digital" ini.
Dampak Nyata: Produktivitas Turun, Kepercayaan Runtuh
Workslop bukan sekadar gangguan teknis. Ia merusak ekosistem kerja:
* Produktivitas jeblok. Waktu habis memilah, bukan mencipta nilai. Mumet, dengan file dan dokumen yang seabreg-abreg.
* Keputusan melemah. Materi rapat panjang, tapi miskin wawasan. Lucunya, rapat atau meeting ini dianggap kerja lagi. Padahal,kerja itu ada di tataran eksekusi.
* Psikologis terguncang. Karyawan frustrasi karena dibanjiri informasi tak relevan. Tak jarang, seorang ibu rumah tangga yang tak jarang membawa pekerjaanya ke rumah. Padahal, di sisi lain ia pun harus mengurus anak, suami, rumah, dan dirinya sendiri.
* Kolaborasi rapuh. Rekan kerja yang sering mengirim workslop dicap "tidak kreatif" dan "tidak bisa diandalkan".
Satu responden bahkan mengibaratkan membaca laporan AI seperti "membaca makalah mahasiswa tingkat awal setiap hari: panjang, tapi tipis."
Kepercayaan tim akhinya bisa goyah dan runtuh, persis seperti presentasi PowerPoint penuh jargon, tapi nihil substansi.