Mengapa penulis brutal makin banyak, tapi tulisan bermakna makin langka?
Pertanyaan ini terus berputar di kepala saya dan menggoda di dada dalam tiga bulan terakhir. Betapa tidak, setiap kali menelusuri beragam platform kepenulisan, selalu saja ada tipikal penuls seperti ini. Fenomenanya jelas terlihat: hampir segala sesuatu kini bisa dijadikan tulisan. Dari pengalaman pribadi yang - mohon maaf - sepele, hingga promosi diri tanpa jeda. Setiap hari.
Bila yang lahir adalah tulisan berkualitas, tentu tak mengapa. Yaitu yang membangun gagasan, menyentuh nurani, dan memberi pencerahan, tentu itu patut kita apresiasi. Bahkan saya kagum pada penulis yang sehari bisa menulis 12 tulisan, dan semuanya dapat highlight. Wah, hebat!
Namun di balik itu, muncul gelombang lain: para "penulis brutal". Mereka sepertinya menulis serampangan. Sekadar untuk eksis, mengejar views, atau mencari popularitas instan. "Fenomena" ini yang membuat saya prihatin. Bukan semata karena kualitas tulisannya dipertanyakan, tetapi semata saya khawatir fenomena ini perlahan-lahan bisa mempengaruhi atau "menyeret" penulis lain terbawa-bawa. Ikut hanyut: asal menulis, asal muncul, asal viral.
Ramainya Tulisan, Sepinya Makna
Tak bisa dipungkiri, setiap hari, jutaan kata lahir di media sosial, blog, dan portal berita. Saat ini, kita sedang menyaksikan sebuah ledakan literasi digital. Semua orang bisa menulis, semua orang bisa berbagi. Tapi ironisnya, semakin deras arus tulisan, semakin sedikit yang benar-benar menembus hati.
Fenomena ini melahirkan istilah yang sering saya renungkan sebagai "Penulis Brutal". Mohon maaf, ini bukan dalam arti kasar, melainkan penulis yang menulis serampangan. Menulis apa saja, bahkan ruang pribadi pun dituangkan tanpa filter. Atau, sekadar mempromosikan diri tanpa pesan bermakna. Hasilnya, tulisan cepat lewat, hambar, dan sulit mendapat tempat di hati pembaca.
Apakah kesalahan ini sepenuhnya ada pada penulis? Saya rasa tidak. Budaya digital memang mendorong kita menulis cepat, singkat, dan sering kali asal-asalan. Namun di sisi lain, ada penulis yang tetap menulis dengan jiwa. Meski tanpa label highlight, meski tanpa headline. Tulisan mereka mungkin tidak viral, tetapi terasa tulus dan meninggalkan kesan mendalam.
Antara Algoritma dan Nurani
Sherry Turkle, profesor literasi digital MIT, pernah mengingatkan: "Kita semakin pandai berbicara dalam 140 karakter, tapi semakin miskin membangun percakapan bermakna."
Inilah dilema penulis hari ini: menulis untuk algoritma, atau menulis untuk nurani?
Riset Stanford (2022) menunjukkan konten dangkal lebih mudah viral dibanding konten reflektif. Otak manusia, didorong dopamin, lebih cepat terpikat pada hal-hal singkat, instan, dan emosional.
Tapi menulis ringkas bukan berarti menulis hampa. Bedanya ada pada niat dan ketulusan. Rhenald Kasali mengingatkan: "Teknologi mempercepat informasi, tetapi nurani penulislah yang menentukan maknanya."
Menulis dengan Jiwa, Bukan Sekadar Jari
Selama saya belajar dan berproses di dunia literasi, saya menemukan satu hal sederhana: tulisan yang bertahan lahir dari hati, bukan sekadar dari jari.
Neurosains komunikasi membuktikan bahwa ketika sebuah tulisan menyentuh emosi terdalam, bagian otak bernama amygdala aktif. Ikatan batin terbentuk, membuat tulisan lebih diingat dibanding sekadar informasi.
Karena itu, menulis dengan jiwa bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Kita tidak menulis agar sekadar terbaca, tapi agar terasa. Menyentuh hati, merasuk kedalam jiwa.
Strategi Agar Tulisan Tidak Hanya Lewat
Bagaimana agar kita tidak terjebak menjadi "Penulis Brutal", melainkan berusaha menjadi penulis yang menghadirkan makna?
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita latih:
1. Riset sebelum menulis. Bahkan tak jarang, data kecil bisa memberi bobot besar pada tulisan.
2. Gunakan narasi personal. Ceritakan pengalaman atau refleksi. Pembaca lebih mudah terhubung dengan kisah nyata daripada sekadar teori.
3. Tulislah dengan jeda. Jangan hanya mengejar kuantitas. Tulisan reflektif, sepengetahuan saya butuh waktu untuk tumbuh. Tak jarang, saya menulis sekitar setengah enam pagi, namun baru posting malam hari. Atau juga sebaliknya. Draftnya saya tulis malam, dan baru pagi saya posting tulisan saya.
4. Latih empati literasi. Caranya sederhana. Tanyakan pada diri sendiri, sebelum posting: "Apakah tulisan ini memberi arti bagi orang lain?", "Apakah artikel ini memberikan manfaat, makna, atau inspirasi bagi pembaca".
Menjadi Penulis Pembelajar
Saya tidak menulis ini untuk menggurui siapa pun. Saya pun masih sering tergoda menulis cepat. Setiap hari harus bisa menyempatkan diri menulis. Tetapi, setiap kali membaca tulisan yang lahir dari hati, meski tanpa label highlight, kembali saya belajar. Bahwa, menulis sejatinya adalah perjalanan menjadi manusia yang lebih sadar. Bukan asal jadi, dan bukan pula sekadar memenuhi ego pribadi.
Menjadi Penulis Pembelajar Indonesia, adalah penulis yang setiap saat bersemangat untuk belajar. Rendah hati untuk terus memperbaiki diri, terbuka pada kritik, dan berani menulis dengan jiwa, bukan hanya demi algoritma.
Jejak yang Kita Tinggalkan
Ledakan literasi digital tidak bisa kita hentikan. Tetapi kita bisa memilih sikap: apakah ikut arus menjadi Penulis Brutal yang menulis asal-asalan, atau berusaha menjadi Penulis dengan Jiwa yang meninggalkan jejak bermakna.
Seth Godin pernah mengingatkan: "Kita tidak butuh lebih banyak konten, kita butuh konten yang lebih baik."
Mari bersama-sama belajar menulis dengan hati. Sebab tulisan tanpa jiwa hanyalah deretan huruf yang mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI