Selama saya belajar dan berproses di dunia literasi, saya menemukan satu hal sederhana: tulisan yang bertahan lahir dari hati, bukan sekadar dari jari.
Neurosains komunikasi membuktikan bahwa ketika sebuah tulisan menyentuh emosi terdalam, bagian otak bernama amygdala aktif. Ikatan batin terbentuk, membuat tulisan lebih diingat dibanding sekadar informasi.
Karena itu, menulis dengan jiwa bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Kita tidak menulis agar sekadar terbaca, tapi agar terasa. Menyentuh hati, merasuk kedalam jiwa.
Strategi Agar Tulisan Tidak Hanya Lewat
Bagaimana agar kita tidak terjebak menjadi "Penulis Brutal", melainkan berusaha menjadi penulis yang menghadirkan makna?
Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita latih:
1. Riset sebelum menulis. Bahkan tak jarang, data kecil bisa memberi bobot besar pada tulisan.
2. Gunakan narasi personal. Ceritakan pengalaman atau refleksi. Pembaca lebih mudah terhubung dengan kisah nyata daripada sekadar teori.
3. Tulislah dengan jeda. Jangan hanya mengejar kuantitas. Tulisan reflektif, sepengetahuan saya butuh waktu untuk tumbuh. Tak jarang, saya menulis sekitar setengah enam pagi, namun baru posting malam hari. Atau juga sebaliknya. Draftnya saya tulis malam, dan baru pagi saya posting tulisan saya.
4. Latih empati literasi. Caranya sederhana. Tanyakan pada diri sendiri, sebelum posting: "Apakah tulisan ini memberi arti bagi orang lain?", "Apakah artikel ini memberikan manfaat, makna, atau inspirasi bagi pembaca".
Menjadi Penulis Pembelajar
Saya tidak menulis ini untuk menggurui siapa pun. Saya pun masih sering tergoda menulis cepat. Setiap hari harus bisa menyempatkan diri menulis. Tetapi, setiap kali membaca tulisan yang lahir dari hati, meski tanpa label highlight, kembali saya belajar. Bahwa, menulis sejatinya adalah perjalanan menjadi manusia yang lebih sadar. Bukan asal jadi, dan bukan pula sekadar memenuhi ego pribadi.
Menjadi Penulis Pembelajar Indonesia, adalah penulis yang setiap saat bersemangat untuk belajar. Rendah hati untuk terus memperbaiki diri, terbuka pada kritik, dan berani menulis dengan jiwa, bukan hanya demi algoritma.
Jejak yang Kita Tinggalkan
Ledakan literasi digital tidak bisa kita hentikan. Tetapi kita bisa memilih sikap: apakah ikut arus menjadi Penulis Brutal yang menulis asal-asalan, atau berusaha menjadi Penulis dengan Jiwa yang meninggalkan jejak bermakna.
Seth Godin pernah mengingatkan: "Kita tidak butuh lebih banyak konten, kita butuh konten yang lebih baik."
Mari bersama-sama belajar menulis dengan hati. Sebab tulisan tanpa jiwa hanyalah deretan huruf yang mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI