Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ledakan Literasi Digital: Antara Penulis Brutal dan Penulis dengan Jiwa

8 September 2025   20:41 Diperbarui: 8 September 2025   20:41 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis brutal menulis asal-asalan, tapi penulis dengan jiwa menulis untuk meninggalkan makna.|AFM

Selama saya belajar dan berproses di dunia literasi, saya menemukan satu hal sederhana: tulisan yang bertahan lahir dari hati, bukan sekadar dari jari.

Neurosains komunikasi membuktikan bahwa ketika sebuah tulisan menyentuh emosi terdalam, bagian otak bernama amygdala aktif. Ikatan batin terbentuk, membuat tulisan lebih diingat dibanding sekadar informasi.

Karena itu, menulis dengan jiwa bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Kita tidak menulis agar sekadar terbaca, tapi agar terasa. Menyentuh hati, merasuk kedalam jiwa.

Strategi Agar Tulisan Tidak Hanya Lewat

Bagaimana agar kita tidak terjebak menjadi "Penulis Brutal", melainkan berusaha menjadi penulis yang menghadirkan makna?

Ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita latih:
1. Riset sebelum menulis. Bahkan tak jarang, data kecil bisa memberi bobot besar pada tulisan.
2. Gunakan narasi personal. Ceritakan pengalaman atau refleksi. Pembaca lebih mudah terhubung dengan kisah nyata daripada sekadar teori.
3. Tulislah dengan jeda. Jangan hanya mengejar kuantitas. Tulisan reflektif, sepengetahuan saya butuh waktu untuk tumbuh. Tak jarang, saya menulis sekitar setengah enam pagi, namun baru posting malam hari. Atau juga sebaliknya. Draftnya saya tulis malam, dan baru pagi saya posting tulisan saya.
4. Latih empati literasi. Caranya sederhana. Tanyakan pada diri sendiri, sebelum posting: "Apakah tulisan ini memberi arti bagi orang lain?", "Apakah artikel ini memberikan manfaat, makna, atau inspirasi bagi pembaca".

Menjadi Penulis Pembelajar

Saya tidak menulis ini untuk menggurui siapa pun. Saya pun masih sering tergoda menulis cepat. Setiap hari harus bisa menyempatkan diri menulis. Tetapi, setiap kali membaca tulisan yang lahir dari hati, meski tanpa label highlight, kembali saya belajar. Bahwa, menulis sejatinya adalah perjalanan menjadi manusia yang lebih sadar. Bukan asal jadi, dan bukan pula sekadar memenuhi ego pribadi.

Menjadi Penulis Pembelajar Indonesia, adalah penulis yang setiap saat bersemangat untuk belajar. Rendah hati untuk terus memperbaiki diri, terbuka pada kritik, dan berani menulis dengan jiwa, bukan hanya demi algoritma.

Jejak yang Kita Tinggalkan

Ledakan literasi digital tidak bisa kita hentikan. Tetapi kita bisa memilih sikap: apakah ikut arus menjadi Penulis Brutal yang menulis asal-asalan, atau berusaha menjadi Penulis dengan Jiwa yang meninggalkan jejak bermakna.

Seth Godin pernah mengingatkan: "Kita tidak butuh lebih banyak konten, kita butuh konten yang lebih baik."

Mari bersama-sama belajar menulis dengan hati. Sebab tulisan tanpa jiwa hanyalah deretan huruf yang mati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun