Deg. Saya terperangah. Dari lantai dua, sendirian, saya menyaksikan momen yang menancap begitu dalam di hati. Kang Acil benar-benar mempersembahkan Sajadah Panjang, lagu yang baru saja kami bicarakan bersama.
Saat bait demi bait bergema, suara beliau menembus dinding batin, mengetuk ruang terdalam jiwa, hingga air mata mengalir hangat di pipi. Itulah momen ketika seni menjelma doa, dan lagu menjadi sajadah panjang yang merentang dari bumi hingga ke langit.
SAJADAH PANJANG
Puisi: Taufiq Ismail | Musik: Djaka Purnama H.K
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekadar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali bersimpuh hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud, tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya
Hingga kini, saya masih mengingat pesan penting yang beliau sampaikan ketika saya bertanya tentang makna terdalam lagu itu. Dengan ketenangan khasnya, beliau berkata:
"Panjangkan terus sajadah panjang, lurus hingga hati ini menyentuh Allah Yang Maha Menggenggam Semua Kehidupan."
Kalimat itu bukan sekadar nasihat, melainkan warisan batin yang tak lekang oleh waktu.
Kini, Kang Acil telah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Namun, suara itu tetap hidup. Nada yang ia lantunkan, senyum yang ia tebarkan, dan ketulusan yang ia pancarkan adalah sajadah panjang yang diwariskannya kepada kita semua. Sajadah itu tidak berhenti di liang kubur, melainkan terus membentang dalam doa, ingatan, dan karya.
Selamat jalan, Kang.
Semoga Allah menjemputmu dengan kasih sayang yang tak bertepi, menerima segala amal baikmu, dan menempatkanmu di sisi-Nya yang Maha Pengasih Maha Penyayang.