Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 3 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 3 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Tulisan Guru Bisa Hidup Lebih Lama dari Suaranya

2 September 2025   11:38 Diperbarui: 2 September 2025   11:38 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketika kata lisan memudar bersama waktu, tulisan guru tetap hidup, mengikat ilmu, mengalirkan makna, dan menjadi warisan peradaban."

Siapa yang bisa menahan haru, ketika tanpa sengaja menemukan tulisan dari seseorang yang kita cintai, namun penulisnya telah lama tiada? Saya pernah mengalaminya. Di antara tumpukan arsip lama, saya mendapati empat lembar kertas yang mulai menguning. Tulisannya sederhana, tetapi menggetarkan hati. Sebuah nasihat bijak kehidupan agar kita senantiasa rendah hati, senang berbagi, dan hidup bermakna bagi sesama.

Saat membacanya, tanpa terasa pipi saya terasa hangat, dan bulir air mata saya jatuh. Sebab penulis itu adalah guru saya sendiri. Guru kami yang oleh semua teman sekelas saat itu, sungguh kami cintai.

Dan saat itu saya benar-benar sadar: kata-kata yang diucapkan bisa memudar. Tetapi, jiwa dari isi tulisan itu akan tetap abadi, menemani, bahkan setelah penulisnya tak ada lagi.

Warisan Sejati Seorang Guru

Bayangkan suatu hari nanti, murid-murid kita sudah dewasa. Mereka sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Nama kita mungkin sudah jarang disebut. Namun, satu hal yang tidak akan pernah hilang adalah jejak makna yang kita tinggalkan lewat tulisan.

Menjadi guru bukan sekadar mengajar di ruang kelas. Menjadi guru berarti menanamkan nilai, membentuk karakter, dan menyalakan inspirasi hidup. Tetapi, adakah jaminan bahwa kata-kata lisan kita akan selalu diingat murid? Tidak. Kata-kata bisa memudar. Namun tulisan, ia sanggup mengikat ilmu, mengabadikan pengalaman, dan terus berbicara meski kita sudah tiada.

Saya merasakannya sendiri. Saat reuni setelah lebih dari 39 tahun kelulusan, sosok guru itu kembali hadir di tengah-tengah kami. Bukan lewat fisiknya, melainkan lewat doa yang kami panjatkan bersama di penghujung acara. Ternyata, warisan sejatinya bukan hanya pelajaran yang dulu beliau ajarkan, melainkan tulisan dan teladan hidupnya yang tetap hidup dalam ingatan murid-muridnya.

Mengapa Guru Harus Menulis?

Ada banyak hal yang bisa kita kemukakan, namun setidaknya ada 4 alasan penting mengapa guru itu harus menulis.

Pertama, tulisan adalah warisan ilmu. Kita bisa mengikat ilmu dengan menulisakannya.
Ketika guru menulis, ia tidak hanya berbagi dengan murid di kelas, tetapi juga dengan generasi yang belum pernah ditemuinya. Buku, artikel, atau catatan sederhana bisa menjadi "guru kedua" bagi murid di masa depan.

Kedua, menulis itu melipatgandakan pahala.
Setiap ilmu yang dituliskan, setiap pengalaman yang ditorehkan, akan terus hidup meskipun jasad kita tiada. Bukankah sebaik-baiknya amal adalah amal yang manfaatnya tidak terputus: Ilmu yang bermanfaat.

Ketiga, tulisan menjaga api semangat.
Guru sering kali lelah oleh rutinitas. Menulis adalah cara menyegarkan jiwa. Saat menulis, guru menemukan kembali alasan mulianya: mengajar bukan hanya profesi, melainkan panggilan jiwa.

Keempat, tulisan menjadi teladan.
Murid belajar bukan hanya dari kata-kata, melainkan dari tindakan. Ketika guru menulis, murid melihat keteladanan nyata. Bahwa, belajar adalah proses seumur hidup, dan berbagi ilmu adalah kewajiban yang luhur.

Meninggalkan Jejak Makna

Guru adalah penanam benih. Murid adalah ladangnya. Tapi menulis adalah cara agar benih kebaikan itu tumbuh melampaui musim. Suatu hari, mungkin seorang murid akan menemukan catatan guru lamanya. Ia membaca, lalu meneteskan air mata, dan berbisik dalam hati: "Inilah bekal hidupku."

Betapa indah bila jejak seorang guru tidak hanya tertinggal di papan tulis yang terhapus penghapus. Melainkan di lembar-lembar tulisan yang menginspirasi sepanjang masa. Atau, di postingan lama di blog Kompasiana.

Ajakan Reflektif

Kita pasti sepakat, bahwa guru yang menulis bukan sekadar pendidik, tapi juga penjaga peradaban. Karenanya, mari kita tinggalkan jejak yang abadi. Bukan sekadar nilai angka di rapor, tetapi nilai kehidupan yang akan dikenang dan dilanjutkan oleh murid-murid kita.

Karena pada akhirnya, murid akan lupa cara kita menjelaskan rumus. Tapi mereka akan selalu ingat dengan makna yang kita titipkan dalam tulisan, dan teladan hidup kita.

"Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun