Integritas adalah tinta tak kasatmata yang membedakan tulisan seorang penulis sejati dari mereka yang hanya mengejar pengakuan.
Baru-baru ini, obrolan seru di grup Whatsapp para penulis digital mengusik kesadaran saya. Sekilas, baca beberapa baris saja dari keluhannya, saya jadi gemas. Betapa tidak, salah satu sahabat saya, penulis aktif, yang dikenal produktif dan punya gaya khas, karyanya dicuri. Ia mendapati beberapa tulisannya diplagiasi. Bukan hanya disalin, tapi diparafrase, dipotong-potong, dan diklaim menjadi karya orang lain.
"Ada 7-8 yang saya temukan pakai tulisan saya. Cuma yang lain sudah diolah. Dia ambil yang dia tertarik saja Mas. Yang pasti, perlu dipertanyakan tulisan-tulisan dia lainnya," keluhnya.
Ketika karakter sahabat saya ini mulai dipakai orang lain, bukan untuk terinspirasi, tapi untuk mengklaim prestasi, saat itu saya tahu. Ini bukan sekadar pelanggaran teknis. Ini pengkhianatan terhadap semangat berkarya.
Dan lebih menyakitkan lagi, tulisan hasil plagiat tersebut justru tampil sebagai artikel unggulan di platform terkenal.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di antara kita, para penulis di dunia penulisan?
Sebagai penulis, saya hanya berharap sederhana. Bahwa kejadian ini, harus jadi refleksi keras tentang plagiarisme di komunitas penulis digital.
Plagiarisme Bukan Sekadar Copy-Paste
Plagiarisme hari ini telah menjelma menjadi serigala berbulu domba. Ia tidak selalu hadir dalam bentuk salin-tempel kasar. Ia menyamar dalam parafrase yang licik. Ia berselimut narasi baru, tapi tetap membawa struktur, gaya, dan karakter orang lain.
Dalam kasus yang baru terungkap ini, sang penulis asli mengungkap:
"Saya hapal sekali tulisan-tulisan saya. Saya tahu ritmenya. Saya bahkan mengenali pilihan kata, cara bertutur, hingga letak penekanan emosionalnya. Sebenarnya, ada tulisan-tulisan lain yang juga ambil dari tulisan saya yang lain...."