Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Dalam Bayang Figur: Krisis Demokrasi dan Kebangkitan Atavisme Birokrasi

19 Juli 2025   16:37 Diperbarui: 18 Juli 2025   16:03 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin bukan pengganti sistem, melainkan penggeraknya. |Image: linkedin.com

"Demokrasi tidak tumbuh dari pesona seorang pemimpin, tetapi dari kokohnya sistem yang menempatkan akal sehat di atas narasi simbolik. Ketika kekuasaan berpindah dari institusi ke individu, maka yang lahir bukan kemajuan, melainkan pengulangan masa silam yang dikemas dalam bingkai modern."

Tak habis pikir, mengapa ya kita-kita ini kini makin sering melihat pemimpin daerah tampil seperti selebritas, ketimbang negarawan? Mengapa pula publik lebih mengenal sosoknya di layar media sosial, ketimbang kerja sistemik di balik layar institusi?

Tak berlebihan rasanya, bila saya menilai bahwa fenomena ini bukan sekadar tren gaya kepemimpinan. Melainkan cermin dari masalah struktural yang lebih dalam: adanya gejala akut regresi demokrasi melalui simbolisme figur dan personalisasi kekuasaan.

Dalam bahasa ilmu sosial, ini disebut atavisme birokrasi. Yaitu, kembalinya pola lama yang mestinya sudah kita tinggalkan.

Atavisme Birokrasi dalam Politik Kontemporer

Dalam sistem pemerintahan modern, birokrasi dirancang untuk menjamin keberlangsungan negara. Yaitu, harus berjalan atas dasar hukum, prosedur, dan partisipasi kolektif. Namun, di berbagai wilayah, kita mulai menyaksikan bentuk kepemimpinan yang justru menghidupkan kembali semangat feodalisme, di mana pemimpin menjadi pusat segalanya, bukan bagian dari sistem.

Seolah kebijakan baru langsung diberlakukan di depan layar akun medsos akun sang pemimpin daerah. Entahlah, apa itu sudah melalui kajian dan sudah mendengarkan pendapat para pakar, atau tidak. Atau mungkin, sudah secara informal berkoordinasi dengan stakeholder terkait? Entahlah...

Gejala ini sering dibungkus dengan narasi "karisma", "ketegasan", atau "kehadiran langsung di lapangan". Selintas, masyarakat yang awam dan tak kritis bisa dibuat kagum seketika. Tetapi, sesungguhnya itu sedang terjadi proses penyempitan ruang kelembagaan. Dinas teknis, dewan perwakilan rakyat, bahkan perangkat perencanaan daerah, kerap hanya menjadi pelengkap dari narasi besar sang pemimpin.

Simbolisme Kekuasaan dan Personal Branding Berlebihan

Budaya politik kita, dalam banyak kasus, masih lekat dengan tradisi simbolik. Pemimpin yang menggunakan warisan mitologis, narasi heroik, atau bahasa emosional, sering kali dengan mudah mendapatkan simpati. Tapi ketika narasi itu digunakan untuk mengaburkan prosedur, melemahkan lembaga, dan menutupi minimnya deliberasi publik, maka yang terjadi adalah kultus individu dalam sistem demokrasi.

Ini bukan sekadar soal strategi komunikasi. Ini tentang pergeseran pusat kekuasaan dari sistem ke figur. Akibatnya, tentu saja tak membuat sehat demokratisasi. Karena masyarakat diajak menjadi pengikut, bukan menjadi warga negara yang kritis, berimbang, dan kontributif. Di titik ini, pemerintahan seolah lebih mirip panggung pertunjukan citra ketimbang ruang kerja kebijakan.

Sampai titik ini, terpaksa saya harus menarik nafas panjang....

Risiko Personalisasi Kekuasaan terhadap Tata Kelola

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun