"Orang membeli dengan emosi, membenarkannya dengan logika."
Kalimat ini terdengar klise, tapi entah mengapa... tetap terasa benar.
Saat Kita Lupa Bahwa Kita Sedang Berbicara dengan Manusia
Saya pernah duduk di sebuah kafe kecil, mendengarkan seorang teman yang mengeluh soal penjual online yang menurutnya "terlalu ngotot."
"Baru juga tanya-tanya, sudah dikasih harga dan disuruh transfer. Padahal aku belum yakin ini solusi yang aku butuhin," katanya sambil menyeruput kopi.
Waktu itu, saya hanya tersenyum. Karena saya tahu, penjual itu bukan tidak sopan. Ia hanya terlalu cepat. Terlalu fokus pada strategi, hingga lupa empati. Ia lupa bahwa di balik "calon pembeli" itu ada seseorang yang mungkin sedang bingung, cemas, atau hanya ingin didengarkan sebentar.
Atau, bisa jadi ia lupa bahwa ia ini sedang bertugas dan "dinas". Karena ia membawa masalah pribadi atau masalah keluarganya saat ia "bekerja", sehingga lupa terhadap kebutuhan customernya. Lupa berempati, lupa tidak memahami terlebih dahulu, dan langsung "meloncat" pada proses transaksi dan target pribadi.
Dalam artikel ini, saya ingin berbagi bagaimana kita bisa menekankan kekuatan niat dan empati dalam menjual. Juga mendorong pembaca untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses bisnis tanpa menggurui atau terdengar klise.
Tak salah bila kita meyakini ini, bahwa: "Menjual yang paling berkesan bukan datang dari strategi paling canggih, tapi dari hati yang paling hadir dan niat yang paling tulus."
Menjual Itu Bukan Sekadar Teknik, Tapi Seni Menyentuh Hati
Dalam dunia yang semakin cepat, kita sering merasa dituntut untuk closing secepatnya. Kita dilatih untuk menaklukkan target, bukan membangun kedekatan.
Padahal, percaya atau tidak, yang paling diingat dari proses menjual justru bukanlah produk, tapi perasaan. Perasaan nyaman. Dihargai. Dipahami. Juga perasaan "merasa penting dan berarti". Dan di sinilah letak pentingnya sesuatu yang mulai banyak dibicarakan: Emotional Selling Intelligence. Yaitu kemampuan menjual dengan hati, bukan hanya akal.