"Keyakinan sejati lahir dari petunjuk Ilahi, bukan sekadar warisan turun-temurun. Hanya dengan cahaya tauhid, kita dapat membebaskan diri dari kegelapan tradisi yang menyesatkan."
Dalam perjalanan sejarah, budaya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Namun, yang menjadi keprihatinan mendalam adalah ketika keyakinan di luar Islam dibungkus dengan budaya hingga sulit dibedakan mana yang haq (benar) dan mana yang batil (salah).
Lebih ironis lagi, ketika para pemimpin lebih mengutamakan adat istiadat daripada agama, sehingga keyakinan yang bertentangan dengan tauhid menjadi sesuatu yang diwariskan turun-temurun tanpa ada pertimbangan kritis.
Allah telah memberikan peringatan keras dalam Al-Qur'an tentang kecenderungan manusia yang membiarkan tradisi menutupi kebenaran. Firman-Nya dalam QS. An-Nahl, 16: 24-25:
"Apabila dikatakan kepada mereka, 'Apa yang telah diturunkan Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Dongeng-dongeng orang dahulu.' Ucapan mereka menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya sendiri dengan sempurna pada hari kiamat.
Mereka juga memikul sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, alangkah buruknya dosa yang mereka pikul itu."
Ayat ini menegaskan bagaimana keyakinan yang tidak bersumber dari wahyu sering kali dikemas dalam kisah-kisah lama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka yang mengikuti budaya tanpa memahami esensinya justru menjerumuskan diri dalam kesesatan, bahkan turut serta dalam dosa orang-orang yang mereka pengaruhi.
Budaya: Antara Tradisi dan Kebenaran
Budaya sejatinya merupakan ekspresi kehidupan suatu bangsa. Namun, dalam Islam, budaya harus selalu diselaraskan dengan nilai-nilai tauhid dan akidah yang benar. Ketika budaya bertentangan dengan Islam, maka Islamlah yang harus diutamakan, bukan sebaliknya.
Sayangnya, dalam banyak kasus, budaya dijadikan tameng untuk mempertahankan keyakinan yang menyimpang dari ajaran tauhid.