Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Selalu saja ada satu cara yang lebih baik, dan lebih baik lagi dengan berbagi

Hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wisata Bencana: Antara Kemanusiaan, Ilmu Pengetahuan dan Cuan

3 Desember 2022   16:35 Diperbarui: 3 Desember 2022   16:43 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto (AFP/Aditya Aji) 

Dark tourism dan disaster tourism di kawasan area terdampak bencana, seolah kembali terulang di area bencana gempa bumi di Cianjur. Bagi orang yang sehat mentalnya, tentu saja hal yang berkonotasi kelam dan bencana, tak sepatutnya jadi sebuah objek wisata. Meski ini tidak terorganisir dan terjadi secara spontan, namun tetap saja dark tourism dan disaster tourism memberi dampak ketidaknyaman pada semua pihak. Khususnya saat tahapan tanggap darurat di suatu lokasi bencana.

Saya sendiri kaget dan tak habis pikir, dengan apa yang saya lihat sendiri di depan mata. Di beberapa titik area bencana yang berbeda, banyak orang yang melakukan wisata bencana. Saat itu saya sedang membantu menyalurkan sedikit bantuan pada korban di area bencana alam gempa bumi di Cianjur.

Para pencari selfie ini sunggur "ruar biasa". Mereka datang hanya untuk melihat-lihat saja, lalu mengabadikan momen kejadian di area bencana itu dengan foto dan videonya. Bergantian mereka pun saling memfoto, atau berswafoto tak habis-habisnya. Yang miris, mereka lakukan itu sambil tertawa-tawa cekikikan. 

Banyak warga terdampak dan orang-orang yang melihat jadi geram, saat melihat banyak orang yang datang hanya foto-foto semata demi konten. Apakah mereka itu sudah melakukan donasi, atau cari follower saja ? Sungguh, itu benar-benar jadi tempat yang tidak biasa untuk foto turis.

Sejumlah netizen yang berempati pun mengeluhkan itu, "Saya menyaksikan banyak orang orang bermobil. Turun dan hanya foto rekam posting saja", "Konten oh konten...jadi banyak orang gk waras gara2 konten", dan "Sosmed membuat orang kehilangan empati !"

Wisata bencana sungguh bisa mengganggu dan membahayakan semua pihak. Seperti bisa mengurangi area dan ruang kerja tim evakuasi maupun distribusi logistik. Selain itu, kekhawatiran terjadinya bencana susulan itu bisa membahayakan keselamatan jiwa orang-orang yang berada di area itu. Baik karena longsoran maupun gempa susulan mengingat struktur tanah masih labil dan bisa membayakan semua orang.

Dampak lain, wisata bencana juga jadi kendala paling berdampak pada kecepatan penanganan evakuasi & mobilisasi relawan serta logistik. Selain karena medan yang berisiko dan cuaca, jalan yang sempit jadi kian sempit dan terjadi kemacetan panjang. Ini sungguh benar-benar mengganggu dan membahayakan, terutama yang membutuhkan pertolongan dan pananganan medis segera. Masyarakat membludak menonton area bencana dan proses evakuasi. Sementara akses jalan terbilang terbatas dan sempit, sehingga lalu lintas pun jadi padat dan tersendat. Jarak tempuh yang bisa dijangkau 15 menit, dikeluhkan bisa jadi 2 jam lamanya.

Kini kita perlu menyadari sepenuhnya, bahwa semua pihak harus memahami untuk senantiasa mengedepankan keselamatan dan kebaikan bersama. Karena itu, masyarakat diminta untuk memiliki dan meningkatkan rasa empati dan menahan diri untuk mendatangi lokasi bencana, kecuali dengan tujuan membantu. Bukan selfi-selfian.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sudah meminta masyarakat tak lakukan wisata bencana di area korban gempa Cianjur. Sementara BNPB sendiri pun sudah meminta untuk kesekian kalinya dan mengingatkan pihak yang tidak berkepentingan agar menahan diri untuk tidak berbondong-bondong ke lokasi bencana dan tidak memasuki wilayah-wilayah terdampak gempa.

Wisata Bencana

Wisata bencana sebagai wisata edukasi bisa saja diberlakukan apabila proses mitigasi oleh pemerintah dinyatakan selesai dan mendapat izin dari tokoh atau pemuka daerah setempat. Plus persyaratan lain yang berlapis. Lebih jauh, area bencana juga lebih jauh bisa dijadikan sebagai wisata edukasi. Khususnya pada jejak kehancuran, kematian, dan bagaimana upaya masyarakat untuk menata kembali kehidupan normalnya, lalu dikemas sedemikian rupa. Syukur-syukur itu bisa menghidupan emotional spiritual quotient yang mengikutinya.

Peran untuk melaksanakan wisata edukasi ini juga bisa "diambil alih" oleh YouTuber dan masyarakat perfilman. YouTuber bisa membuat liputan dari potongan liputan media yang sudah ada. Mereka bisa memanfaatkan potongan tayangan2 yang sudah diliput media mainstream dan mengolahnya menjadi sebuah tayangan yang mendidik. Lebih jauh juga diharapkan dapat menggugah kedekatan penontonnya pada Allah Yang Maha Menggenggam Segalanya. Selain YouTuber, komunitas pecinta film juga bisa membuat film dokumenter bencana alam ini sebagai bagian literasi kebencanaan untuk generasi yang akan datang.

Baik wisata bencana maupun produk film dokumenter, itu bisa juga dikemas untuk meningkatkan empati dan rasa kemanusian, sekaligus menggalang dana atau donasi pada lembaga yang amanah dan terpercaya untuk menyalurkannya. Bisa juga dikemas sebagai ilmu pengetahuan mengenai kebencanaan, tanggap darurat, prosedur evakuasi di area bencana, dan lain-lain. 

Jadi, jangan sampai wisata bencana itu hanya sebatas menghadirkan perjalanan wisata atau isian waktu luang demi memenuhi rasa kekepoan saja. Tapi lebih dari itu, mereka harus banyak belajar dan bisa melihat secara langsung "situs" bencana setelah pemerintah memperbolehkannya dan mendapat izin pemuka atau tokoh masyarakat setempat.

Wisata Bencana disatu sisi bisa menimbulkan rasa kurang aman bagi wisatawan yang akan berkunjung ke daerah itu. Namun itu sebenarnya bisa disiasati dengan syarat berlapis. Utamanya adanya kajian, dasar legislasi, keterlibatan kelembagaan terkait, pendanaan dan keterlibatan masyarakat yang terdampak. Seperti :

1. Area bencana sudah selesai di tahap rehabilitasi yang dinyatakan oleh pemerintah.

2. Ada kajian khusus dari lintar disiplin ilmu dan profesi untuk menguji bagus tidaknya, layak tidaknya dan siap tidaknya suatu daerah dijadikan wisata bencana.

3. Mendapat izin khusus dari pemda setempat, tokoh / pemuka setempat dan keterlibatan masyarakat yang terdampak.

4. Ada dasar legislasi, dan koordinasi kelembagaan terkait.

5. Waktu dan durasi kunjungan bila dirasakan perlu harus dibatasi, misalnya cukup beberapa waktu saja setelah proses rehabilitasi selesai dilakukan.

6. Jumlah kunjungan wisata bencana bisa dijadikan modal untuk membangun kembali roda kehidupan mereka.

7. Tiket kunjungan bisa disediakan kotak  amal yang sifatnya sukarela, namun juga bisa dikenakan tiket masuk, parkir, biaya keamanan hingga biaya antar keliling lokasi bencana.

8. Wisata bencana atau piknik bencana ini tidak menimbulkan ekses sebagai "Tindakan Tidak Etis". Persis seperti artikel dengan judul "Santir Rupa Lindunisia", yang menyamakan pengunjung wisata bencana sebagai "orang berhati Iblis" (https://communication.uii.ac.id/).

Contoh wisata bencana di Indonesia yang sudah ada, antara lain bisa dilihat di  Wisata Kapal PLTD I Apung karena Tsunami Aceh yang menjadi saksi bisu kedaksyatan tsunami Aceh tahun 2004. Juga seperti Museum Mini Sisa Hartaku di Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta karena kedahsyatan erupsi letusan gunung Merapi tahun 2010. Selain itu, ada pesona keindahan Wisata Lumpur Lapindo di di Desa Ketapang, kecamatan Tanggulangin, kabupaten Sidoarjo. Di luar negeri, wisata bencana juga kita temukan di Bendungan Delta Belanda, yang jadi "monument" bencana banjir tahun 1953 & memakan 1800 korban jiwa, hingga Ground Zero Reruntuhan Gedung WTC karena pengemoman gedung WTC New York.

Warga yang menjadi korban, tokoh masyarakat yang terlibat, dan relawan yang langsung terjun pertama kali di tempat yang menjadi saksi hidup saat itu, bisa jadi nara sumber terpercaya. Mereka bisa diminta untuk menceritakan ulang sejarah kebencanaan khususnya kronologi detik-detik bencana itu, sebagai sebuah pengingat abadi bahwa sebagai makhluk Tuhan kita bisa ditelan bumi kapan saja. Atau kisah-kisah heroik yang bisa menginspirasi kita semua.

Dalam masa tanggap darurat, batasi dan perketat akses.

Bila akses ke area bencana belum diatur, maka evakuasi dan mobilisasi bisa jadi amburadul. Karena itu diharapkan Polri dan pihak terkait mampu menertibkan masyarakat yang menjadikan lokasi gempa, sekaligus mengedukasi bahwa area bencana saat ini bukanlah tempat wisata.

Pihak-pihak yang tak berkepentingan di lokasi bencana, bisa mengganggu penanganan bencana, baik terkait mobilisasi peralatan, bantuan hingga logistik ke lokasi bencana. Bila area bencana bisa diatur sedemikian rupa dengan baik, maka arus dan kecepatan bantuan bisa diatur lebih cepat hingga ke tangan yang membutuhkannya. Tidak saja saat tanggap darurat, namun dapat terus ditertibkan hingga pada tahap rehabilitasi bencana.

Akhirnya, saya sendiri sangat berharap agar wisata bencana tidak dilakukan masyarakat di area bencana sebelum masa rehabilitasi benar-benar sudah dilakukan sempurna. Sisi empati dan kemanusiaan haruslah diprioritaskan. Harapan, kebiasaan dan kehidupan keseharian masyarakat yang terdampak janganlah terganggu. Ini jauh lebih penting mendapat atensi khusus sekarang, khususnya dari aparat keamanan dan LSM Pengamanan Swakarsa yang bisa dilibatkan. Ya, sekali lagi, ini lebih penting dan mendesak dibandingkan untuk kepentingan literasi dan edukasi kebencanaan, atau pun hanya sekedar mencari recehan cuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun