Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ternyata Keberuntungan adalah "Skill" yang Bisa Dilatih

27 Februari 2018   07:44 Diperbarui: 27 Februari 2018   08:41 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kennedyross.co.uk

Dalam sebuah kuliah yang saya ikuti sang dosen menanyakan satu hal menarik. Dalam hidup, kamu pilih jadi orang pintar atau orang beruntung? Pertanyaan itu terlihat sederhana, tapi cukup mengagetkan bagi kami. Kalau disuruh memilih ya dua-duanya. Tapi kami harus menjawab salah satu. Kebanyakan dari mahasiswa menjawab memilih beruntung. Walaupun sebagian menjawab dengan ragu, karena kami kuliah hingga pasca sarjana tentu karena ingin pintar.

Ingin tahu jawaban sang dosen? Ternyata dengan sangat yakin dia menjawab: Saya memilih jadi orang beruntung. Dia lalu melanjutkan bahwa keberuntungan bukan seperti bintang jatuh dari langit. Bukan sesuatu yang mendadak datang---ujug-ujug kalau orang Jawa bilang. Keberuntungan itu adalah bagian dari sebuah proses dan hal tersebut bisa dipelajari dan dilatih.

Seorang teman lalu bertanya, bagaimana caranya agar kita bisa selalu beruntung? Sayangnya kami tak mendapatkan jawaban memuaskan. Kami hanya mendapatkan jawaban, "Tidak semua pertanyaan harus saya jawab. Kalian punya akal dan punya kemampuan untuk berusaha," begitu kira-kira jawaban pak dosen.

Keberuntungan bisa dipelajari dan dilatih? Bagi orang awam mungkin terdengar janggal. Saya pun demikian. Hingga satu hari saya menemukan sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Prof. Richard Wiseman. Dia adalah seorang guru besar psikologi di Universitas Hertfordshire, Inggris. Dia juga seorang tokoh terpandang di British Humanist Association.

Prof. Wiseman pernah melakukan penelitian menarik. Dia memasang iklan di media massa dan meminta orang yang merasa beruntung dan tidak beruntung untuk menghubunginya. Ternyata antusianya meledak. Dalam satu tahun ada 400 orang yang mengajukan diri menjadi sukarelawan dalam penelitian tersebut.

Penelitian ini melibatkan sukarelawan dari usia 18-84 tahun. Beberapa metode penelitian dilakukan oleh Prof. Wiseman seperti wawancara, mengisi kuesioner, membuat catatan harian, tes intelegensia, dan melakukan beberapa percobaan lainnya. Dari penelitian tersebut didapat setidaknya dua kesimpulan menarik.

Pertama, orang beruntung adalah orang-orang yang selalu mengambil kesempatan yang ada di depan mereka, sementara orang yang merasa sial biasanya tidak mengambil atau ragu terhadap kesempatan yang ada di depan mereka. Dalam bayangan saya, orang yang beruntung adalah orang yang mengambil kesempatan tanpa terlalu banyak memikirkan hasil akhir. Sementara orang yang merasa kurang beruntung sering ragu apakah bisa meraih kesempatan tersebut atau tidak.

Kesimpulan lain dari penelitian Prof. Wiseman menunjukkan hal tersebut. Tes kepribadian terhadap sukarelawan mengungkapkan bahwa orang yang merasa umumnya lebih cemas dalam menghadapi sesuatu dibanding orang yang beruntung. Ternyata kecemasan juga berpengaruh terhadap fokus dan kemampuan orang dalam memperhatikan hal-hal yang tak terduga. Salah satu hal tak terduga tersebut tentu saja keberuntungan yang ada di sekitar Anda. Jadi tetaplah tenang dalam menghadapi masalah dan jangan mudah panik.

Mata kuliah yang saya ikuti dan artikel dari Prof. Wiseman tersebut sudah saya coba adopsi dan hasilnya ternyata menyenangkan. Saat ngobrol atau chating dengan teman yang sudah lama tidak bertemu, saya terkadang bertanya informasi tentang apa aktivitas yang dia kerjakan dan ada hal-hal tertentu gak yang bisa dikolaborasikan. Beberapa teman ternyata menawari saya sebuah proyek. Walau tidak semua bisa saya penuhi, tapi saya yakin keberuntungan tersebut datang karena saya berusaha meraihnya.

Hal lain yang coba lakukan adalah tetap berpikir tenang ketika menghadapi satu masalah pada level apa pun masalah tersebut. Misalnya saat saya lupa menaruh kunci kendaraan saat buru-buru mau ke kampus atau ke kantor, saya diam berdiri sambil "memutar" ulang aktivitas yang sudah saya lewati. Dalam waktu singkat biasanya saya ingat di mana kunci tersebut dan hal tersebut merupakan sebuah keberuntungan. Bayangkan bila buru-buru ingin pergi tapi kunci kendaraan tidak ketemu. Pasti jadi awal yang buruk yang akan menghasilkan kesialan-kesialan dalam aktivitas seharian. Saya pernah merasakan hal tersebut.

Apakah Anda juga pernah merasakan kesialan beruntun atau keberuntungan beruntun? Mari kita latih skill keberuntungan kita dan raih setiap kesempatan untuk selalu beruntung.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun