Studi Hubungan Internasional (HI) merupakan cabang ilmu politik yang berfokus pada interaksi antara negara, organisasi internasional, aktor non-negara, dan individu dalam sistem global. Disiplin ini berkembang pesat setelah Perang Dunia I, ketika para akademisi dan praktisi politik mulai mencari cara untuk memahami penyebab perang dan menemukan dasar bagi perdamaian dunia. Dalam konteks tersebut, teori-teori HI muncul untuk memberikan kerangka analisis dalam menjelaskan perilaku negara, dinamika kekuasaan, dan potensi kerja sama internasional. Di antara berbagai teori yang mendominasi wacana HI, empat teori utama sering dijadikan acuan utama dalam memahami hubungan global, yakni Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme, dan Neo-Liberalisme. Masing-masing teori ini memiliki pandangan berbeda mengenai sifat dasar manusia, struktur sistem internasional, serta prospek kerja sama dan perdamaian, meskipun beberapa di antaranya memiliki akar dan prinsip yang saling terkait.
Teori Realisme merupakan teori tertua dan paling berpengaruh dalam studi Hubungan Internasional. Akar pemikiran realisme dapat ditelusuri hingga karya klasik seperti The History of the Peloponnesian War oleh Thucydides, The Prince oleh Niccolò Machiavelli, dan Leviathan oleh Thomas Hobbes. Realisme modern kemudian berkembang melalui pemikiran Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations (1948). Menurut realisme, sistem internasional bersifat anarkis, artinya tidak ada otoritas tertinggi yang mengatur hubungan antarnegara. Dalam kondisi tanpa otoritas global ini, negara menjadi aktor utama dan rasional yang berusaha mempertahankan eksistensinya dengan mengutamakan kepentingan nasional (national interest), terutama dalam bentuk kekuasaan (power). Morgenthau menekankan bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan di antara negara yang berdaulat, di mana moralitas dan idealisme seringkali dikalahkan oleh kebutuhan untuk bertahan hidup (Morgenthau, 1948). Dalam pandangan ini, sifat dasar manusia yang egoistis menciptakan dunia yang penuh konflik dan kompetisi. Karena itu, perang dianggap sebagai fenomena alami dari sistem internasional yang tidak memiliki otoritas tertinggi untuk mengatur perilaku negara.
Berbeda dengan realisme klasik, Neo-Realisme atau Realisme Struktural yang dikembangkan oleh Kenneth N. Waltz pada akhir 1970-an melalui karyanya Theory of International Politics (1979), mencoba memberikan landasan yang lebih ilmiah terhadap teori realisme. Waltz berargumen bahwa sumber utama konflik dan kompetisi antarnegara tidak terletak pada sifat manusia, melainkan pada struktur sistem internasional yang anarkis. Dengan demikian, Neo-Realisme memandang anarki sebagai penyebab utama dari perilaku negara yang berorientasi pada keamanan. Waltz membedakan dua jenis realisme: realisme defensif dan realisme ofensif. Realisme defensif menekankan bahwa negara berusaha mempertahankan keamanan mereka tanpa harus memperluas kekuasaan secara agresif, sedangkan realisme ofensif (seperti yang dikemukakan oleh John J. Mearsheimer) berpendapat bahwa negara akan terus berusaha memaksimalkan kekuatan mereka untuk mencapai hegemoni regional atau global. Dalam Neo-Realisme, struktur sistem internasional ditentukan oleh distribusi kekuatan antarnegara (polarisasi), yang dapat berupa sistem unipolar, bipolar, atau multipolar. Dengan demikian, Neo-Realisme menggeser fokus analisis dari sifat manusia ke sistem internasional yang menentukan perilaku negara.
Sementara itu, Liberalisme menawarkan pandangan yang lebih optimistis terhadap hubungan internasional. Teori ini berakar pada pemikiran filsuf seperti Immanuel Kant dengan gagasannya tentang Perpetual Peace (1795) dan John Locke dengan teori hak asasi manusia serta pemerintahan yang rasional. Liberalisme berkembang pesat setelah Perang Dunia I, terutama melalui pemikiran Woodrow Wilson yang memperkenalkan Fourteen Points dan mendirikan Liga Bangsa-Bangsa sebagai upaya mencegah perang melalui kerja sama internasional. Inti dari teori liberalisme adalah keyakinan bahwa manusia pada dasarnya rasional dan memiliki kapasitas untuk bekerja sama. Karena itu, negara bukan satu-satunya aktor penting; organisasi internasional, lembaga ekonomi, dan individu juga memiliki peran dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas global. Liberalisme menekankan konsep interdependensi, di mana negara-negara saling bergantung dalam aspek ekonomi, politik, dan keamanan. Interdependensi ini mengurangi kemungkinan konflik karena biaya perang menjadi terlalu besar dibandingkan manfaatnya (Keohane & Nye, 1977). Liberalisme juga percaya bahwa demokrasi, perdagangan bebas, dan institusi internasional dapat menjadi sarana untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Namun, perkembangan dunia pasca-Perang Dunia II, terutama selama Perang Dingin, menunjukkan bahwa kerja sama internasional tidak selalu efektif dalam mencegah konflik. Dari sinilah muncul teori Neo-Liberalisme atau Institusionalisme Liberal, yang mencoba menjawab tantangan tersebut dengan memberikan penjelasan lebih sistematis mengenai bagaimana kerja sama bisa tetap terjadi dalam sistem yang anarkis. Tokoh utama teori ini adalah Robert Keohane dan Joseph Nye dengan karya monumental mereka Power and Interdependence (1977). Neo-Liberalisme menerima asumsi dasar Neo-Realisme bahwa sistem internasional bersifat anarkis dan negara tetap merupakan aktor utama, namun berbeda dalam kesimpulan mengenai dampaknya. Neo-Liberalisme berargumen bahwa meskipun anarki membatasi kerja sama, institusi internasional dapat mengurangi ketidakpastian dan memfasilitasi koordinasi antara negara. Lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), atau Uni Eropa (UE) dapat menciptakan aturan, norma, dan mekanisme yang mengatur interaksi antarnegara sehingga meminimalkan potensi konflik. Neo-Liberalisme juga memperkenalkan konsep “absolute gains”, yaitu keuntungan bersama yang dapat diperoleh semua pihak melalui kerja sama, berbeda dengan realisme yang fokus pada “relative gains” atau keuntungan yang diperoleh satu pihak dibanding pihak lain.
Dari keempat teori tersebut, terdapat sejumlah persamaan yang dapat diidentifikasi. Realisme dan Neo-Realisme, misalnya, sama-sama menekankan pentingnya negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional serta mengakui adanya anarki yang menyebabkan ketidakpastian dan kompetisi. Keduanya berfokus pada kekuasaan dan keamanan sebagai variabel utama dalam menjelaskan perilaku negara. Sementara itu, Liberalisme dan Neo-Liberalisme sama-sama percaya pada potensi kerja sama antarnegara dan peran lembaga internasional dalam menciptakan perdamaian. Keduanya juga menolak pandangan pesimistis realisme dengan menegaskan bahwa hubungan internasional tidak hanya ditentukan oleh kekuasaan dan konflik, melainkan juga oleh norma, hukum, dan kepentingan bersama.
Namun, perbedaan utama di antara teori-teori tersebut terletak pada asumsi dasar tentang sifat manusia, sumber konflik, dan kemungkinan kerja sama. Realisme klasik menilai bahwa konflik bersumber dari sifat dasar manusia yang egoistis dan haus kekuasaan, sedangkan Neo-Realisme melihat bahwa struktur sistem internasionallah yang menciptakan konflik, bukan manusia itu sendiri. Sebaliknya, Liberalisme berasumsi bahwa manusia dapat belajar dari pengalaman dan membangun kerja sama untuk mencapai perdamaian, sementara Neo-Liberalisme menekankan pentingnya institusi internasional dalam menjaga stabilitas sistem. Dalam hal tujuan negara, realis menekankan pada keamanan nasional dan kelangsungan hidup, sedangkan liberalis menekankan pada kemakmuran bersama dan pembangunan kolektif. Selain itu, dalam pandangan realis, kekuasaan militer menjadi instrumen utama untuk mempertahankan kepentingan nasional, sementara bagi liberalis, kekuasaan ekonomi, diplomasi, dan norma internasional memiliki peran yang sama pentingnya.
Dalam konteks sistem internasional, realisme dan neo-realisme memandang anarki sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah dan menjadi sumber utama konflik. Bagi realis, anarki menciptakan situasi self-help, di mana setiap negara harus mengandalkan kekuatannya sendiri untuk bertahan hidup. Sebaliknya, bagi liberalis dan neo-liberalis, anarki bukan berarti tidak ada tatanan, melainkan dapat dikelola melalui institusi dan norma internasional. Misalnya, pembentukan lembaga seperti PBB, NATO, dan ASEAN menjadi bukti bahwa negara-negara dapat menciptakan mekanisme kolektif untuk mengatur hubungan mereka, meskipun dalam sistem yang tetap anarkis. Dalam hal ini, Neo-Liberalisme berargumen bahwa institusi internasional berfungsi untuk menurunkan biaya transaksi, meningkatkan transparansi, dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang memperkuat kepercayaan antarnegara (Keohane, 1984).
Selain itu, perbedaan mencolok juga tampak dalam pandangan terhadap peran kekuasaan dan keuntungan. Realisme dan Neo-Realisme berfokus pada relative gains, yaitu keuntungan yang diperoleh negara dibandingkan negara lain. Artinya, negara lebih peduli pada keseimbangan kekuatan dan posisi relatif mereka dalam sistem internasional. Sebaliknya, Liberalisme dan Neo-Liberalisme menekankan absolute gains, di mana semua negara dapat memperoleh manfaat dari kerja sama, misalnya melalui perdagangan bebas atau rezim lingkungan global. Dalam pandangan liberal, perdagangan dan kerja sama ekonomi tidak hanya menguntungkan secara material, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan saling ketergantungan yang menurunkan risiko konflik bersenjata.
Meskipun demikian, teori-teori ini tidak berdiri sepenuhnya terpisah, melainkan sering saling memengaruhi. Misalnya, munculnya konsep “kompleks interdependensi” dalam Neo-Liberalisme merupakan respons langsung terhadap argumen Neo-Realisme. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam dunia modern, hubungan antarnegara tidak lagi hanya ditentukan oleh kekuatan militer, melainkan juga oleh faktor ekonomi, teknologi, dan komunikasi yang saling terkait. Demikian pula, perkembangan Realisme Neoklasik menggabungkan elemen realisme klasik dan Neo-Realisme dengan menambahkan faktor domestik seperti persepsi pemimpin dan struktur politik internal negara dalam menjelaskan kebijakan luar negeri.
Dalam praktik hubungan internasional kontemporer, keempat teori tersebut masih relevan untuk menganalisis berbagai fenomena global. Misalnya, konflik Rusia-Ukraina dapat dijelaskan melalui kacamata Neo-Realisme sebagai upaya Rusia mempertahankan pengaruh dalam sistem bipolar yang bergeser menuju multipolaritas. Sementara itu, pendekatan Neo-Liberalisme dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana sanksi ekonomi dan lembaga internasional berperan dalam menekan agresi tersebut melalui mekanisme institusional. Dalam isu perubahan iklim, teori Liberalisme dan Neo-Liberalisme menawarkan penjelasan tentang pentingnya kerja sama internasional melalui perjanjian seperti Paris Agreement, sedangkan realisme menyoroti kendala yang muncul akibat perbedaan kepentingan nasional dan distribusi kekuasaan antarnegara.