Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Kompasianer

Kompasianer of The Year 2019 | Part of Commate KCI '22 - Now | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Takdir Tidak Bisa Ditolak tapi Manusia Dilibatkan Termasuk Menikah

4 Oktober 2025   16:02 Diperbarui: 4 Oktober 2025   16:39 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mbah wedok itu, orangnya ati-ati,"ujar ibu paruh baya,"Kalau berangkat ke pasar, jalan mlipir nggak pakai nyebrang".

"kemarin, itu nyebrang, dipanggil bu Bejo," sahut ibu yang lain.

Btw, sebelum membahas soal menikah, saya punya pengalaman masa kecil. Berhubungan dengan mbah penjual jamu langganan, yang sangat njawani dan sumeh. Kejadian keseharian yang biasa saja, dan jauh di kemudian hari saya menemukan benang merah.

Benang merah dengan pernikahan, salah satu syariat kehidupan di alam fana. Betapa takdir tidak bisa ditolak, tapi manusia dilibatkan termasuk menikah.

--- ---

Semasa kecil di kampung halaman, saya punya tukang jamu langganan. Mbah wedok dari dukuh sebelah, perawakannya mungil rambut digelung dan outfit-nya selalu berkebaya. Setiap pagi lewat depan rumah, menggendong jamu dijual ke pasar.

Kira kira saya baru naik kelas 6 SD, tersiar kabar mbah tukang jamu berpulang. Beberapa hari sebelumnya tertabrak motor, sepulang dari berjualan. Karena nyebrang jalan, memenuhi panggilan calon pembeli.

Warga pasar berbela sungkawa, memutar ulang memori terkait simbah. Masing- masing mengisahkan, pengalaman yang bersinggungan dengan perempuan sederhana ini. Termasuk ibu saya, kerap diampiri kalau melihat saya ikut jaga warung.

Saya penggemar beras kencur, ibu membelikan kalau bungsunya ikut ke pasar. Melihat tangan keriput yang cekatan itu, sungguh mengasyikkan. Kulit tangan dan kuku warna kekuningan, pertanda sering memarut memeras kunir.

Pasar di kampung kami, dua kali hari pasaran yaitu pon dan kliwon. Suasana mendadak ramai, karena buka pasar sapi dan kambing. Selebihnya pasar sepi, hanya penjual makanan dan tidak sampai separuh yang buka.

Simbah berjualan setiap hari, tidak terpaku pasaran atau warungan. Karena tidak punya lapak, berjualan dipleseran (pintu keluar masuk pasar). Sesekali keliling, menghampiri pelanggan pemilik lapak. Kalau hari libur, saya ikut ibu ketemu simbah.

"padahal sebelum nyebrang, simbah sudah nengok kanan kiri," lanjut penjual kerupuk," tiba- tiba ada motor yang nyelonong.

"Ya gimana lagi, memang sudah takdir" penjual jajanan menimpali.

Meski umur belasan tahun awal, saya sepakat dengan kalimat "sudah takdir". Sebuah kalimat tak terbantahkan, menandakan ada kekuatan di luar kuasa manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun