Mula-mula memaksimalkan kado pernikahan, untuk mengisi rumah kontrakan. Ranjang kasur adalah barang seserahan saat lamaran, termasuk lemari dan meja rias.
Kami mendapat kado kursi meja makan kecil, ditata di ruang tengah yang juga menjadi ruang tamu. Kalau siang dihampar karpet, istri jualan mukena, kerudung, dan sejenisnya. Kalau malam motor masuk, diparkir bersebelahan kulkas.
Benda eletronik kami punyai, adalah tivi tabung 14 inch dibeli saat saya bujangan. Setelah punya anak dibelikan video player, unutk memutar film kartun Thomas and Friend.
Kami benar-benar memulai dari nol, tetapi kami puas dan merasa leluasa. Tidak ada rasa pekewuh, saat bangun kesiangan atau istri tidak masak. Apapun yang kami rasakan dan putuskan, tidak ada campur tangan atau teguran orangtua/ mertua.
-----
Sedikit demi sedikit kami menabung, untuk mewujudkan cita-cita membeli rumah. Â Kalau mendapat bonus dari kerjaan, separuh lebih di-deposito-kan. Sebagian untuk makan-makan, menyenangkan diri sendiri.
Agar hemat istri rajin memasak, saya selalu dibekali ransum untuk makan siang di kantor. Ketika anak mbarep lahir, kami tak menolak lungsuran baju saudara sepupu. Sungguh perjalanan yang tidak ringan, tetapi kami sangat menikmati.
Setiap mengingat ulang satu per satu, tak ayal kami selalu diselimuti rasa haru. Tidak percaya bisa bertahan sejauh ini, bisa membeli  dan tinggal di rumah sendiri. Tetapi kejadian mengharukan itu, justru  membuat ikatan suami istri tereratkan.
Meski tinggal dan lepas dari orangtua, kami tetap menjadwalkan menginap. Saat akhir pekan atau tanggal merah, kami tidur di rumah orangtua. Apalagi kontrakan kami dekat, tidak perlu persiapan khusus.
Jujurly, berat memang melewati ujian tinggal di kontrakan. Tetapi hubungan saya dengan mertua, menjadi minim konflik. Saya dan istri menjadi lebih mandiri, menjalankan tugas dan peran sebagai suami istri.