Discalimer ; tulisan ini dari  pengalaman pribadi, setiap orang berbeda kondisi. Bagi yang anak tunggal, atau ada keharusan serumah dengan orangtua (dengan alasan yang tidak bisa disangkal) tidak salah. Mari kita jalani takdir masing-masing, dengan sebaik-baiknya.
Ada pepatah akrab di kalangan perantau, adalah "Begitu layar terbentang, pantang langkah surut ke belakang". Â Saya pribadi pernah merasakan, kemanjuran kalimat sakti ini.
Diawal keluar dari rumah, batin sempat gentar dengan ujian di tanah orang. Pengin balik kampung, kembali hidup bersama ayah dan ibu. Tetapi niat itu terkoreksi, setelah mendapatkan wejangan dari senior.
Bahwa ujian merantau, untuk dihadapi bukan lantas dihindari. Bagi yang berani, menanggung risiko dari keputusan pernah dibuat---yaitu merantau. Â Niscaya, akan mendapati diri menjadi pribadi yang lebih baru.
Pepatah yang sama, bisa diberlakukan di kehidupan pernikahan. Selepas baju penganten ditanggalkan, suami punya tanggung jawab baru. Istri-pun demikian, siap sedia mendukung keputusan suami.
Mau istri yang working mom atau house wife, kewajiban berbakti pada suami tak bisa dilunturkan. Dan laki-laki dituntut bijak, menimbang keputusan agar tidak timpang.
Sebagai suami amanah sakral terpikulkan, yaitu menjadi kepala keluarga. Yang setiap keputusan musti dipikir masak-masak, karena berpengaruh pada istri dan anak.
Maka mental kepemimpinan laki-laki, musti selalu dilatih dan diasah. Banyak cara bisa ditempuh, salah satunya tidak tergantung orangtua atau mertua. Dengan tidak tinggal serumah, agar bisa  meminimalisir campur tangan orangtua.
Yang sebelum menikah sudah punya rumah, sangat beruntung dan tak perlu pusing. Tetapi yang baru menikah dan belum punya rumah, juga tidak masalah. Sangat bisa, belajar menjadi kepala keluarga di rumah sewa atau kontrakan.
------
Rumah atau tempat tinggal, bisa dikategorikan kebutuhan utama setiap orang. Lebih-lebih keluarga baru, yang ingin membangun semua dari nol. Bagi yang situasinya, seperti di disclaimer berarti sudah beres---soal rumah.