Masih di atap kantor yang sama, ada office boy berperawakan kecil wajahnya (menurut saya) biasa biasa saja. Seragamnya dari itu ke itu, mudah dikenali meski sekelebatan lewat. Di usia 26 tahun, mengundang kami ke resepsi pernikahan.
Kami sekantor sepakat datang, sebagai bukti pertemanan. Kami patungan naik roda empat, melewati jalan perkampungan untuk tiba di rumahnya. Mengetahui kedatangan rombongan, binar bahagia terpias jelas di wajah.
Terhitung lima bulan berselang, setelah pesta sederhana namun membahagiakan. Calon ayah mengabarkan, bahwa istrinya tengah hamil muda. Tampak foto garis dua di test pack, ditunjukkan dengan antusiasnya.
Patokan Menikah Bukan pada Ganteng
Kompasianer's, ganteng dan tidak ganteng tidak bisa dijadikan patokan menikah. Belum tentu yang paras tampan, menikah lebih dulu. Sementara yang wajahnya biasa, menyusul lebih lambat menikah kemudian.
Soal menikah, sama sekali tidak ada kaitan dengan fisik. Bahwa dalam menikah, ada yang lebih penting dari sekedar tampilan wajah. Karena sebuah pernikahan, dibutuhkan mental yang siap, berani berkomitmen dan mengambil keputusan.
Pernikahan yang ideal, lazimnya dialami oleh orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Yaitu mereka yang berdada lapang, sabar dan mengalah dengan pasangan. Mereka adalah orang yang rela berkorban, mengesampingkan ego demi kebaikan bersama.
Kalau ego sudah ditepiskan, selebihnya tantangan berumah tangga bisa diupayakan bersama. Misalnya soal materi, selama suami tidak malas dan disupport penuh oleh istri. Setidaknya kewajiban itu tertunaikan, selanjutnya biarkan kehidupan berlaku dengan algoritmanya.
Soal mengatur keuangan, mendidik anak, merencanakan masa depan, suami istri busa berunding. Bahkan untuk hal-hal krusial, semua sangat bisa dicari formulanya. Berdasarkan kesepakatan bersama, agar hubungan suami istri makin solid.
Saya pribadi mengalami, bahwa dalam berumah tangga akan ada proses learning by doing. Â Suami istri akan belajar, dari kejadian yang pernah dilalui bersama.