Kompasianer's, selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan. Semoga puasa kita membawa keberkahan, berhasil memroses diri menjadi pribadi lebih baik--aamiin.
Hari - hari terakhir bulan Ramadan, suasana mudik sudah sedemikian kuatnya. Tiket kereta api sudah ludes, bahkan dari 45 hari sebelum tanggal keberangkatan. Tiket bus luar kota, sepengetahuan saya harganya melonjak tajam (nyaris 3 kali lipat). Membuat saya putar balik, ketika mencari perbandingan harga. Akhirnya saya turut berburu tiket, memilih dengan kereta dibandingkan bus.
Menjelang lebaran, membawa saya pada kilas balik perjalanan panjang pernah saya lalui. Khususnya pada kejadian masa silam, semasa masih kanak di kampung halaman.
Adalah simbah wedok dari garis ibu (saya dan para cucu terbiasa memanggil mbok), selalu mengolah kue spesial. Kue dibuat simbok ini, khusus menjelang hari kemenangan. Sebagai orang jadul, almarhumah simbok sangat memegang erat tradisi. Konon kue tradisonal ini sengaja dibuat, karena membawa perlambang tersendiri.
Sebenarnya kue ini ada di mana-mana, mudah dibeli dan dibuat siapa saja. Tetapi buatan simbok terasa spesial, citarasanya tetaplah beda. Apalagi saya mengikuti proses, yang lumayan panjang dan membutuhkan ketekunan plus kesabaran.
Al fatihah buat simbok, kue lebaranmu tak ada yang menandingi. Bahkan setelah saya menua, prosesi mempersiapkan kue oleh simbok selalu teringiang di benak.
----
H- 2 lebaran (mengikuti ketentuan pemerintah)
Sebagai anak rantau (30 tahun lebih), saya turut dalam riuh arus mudik. Istri dan anak-anak, juga larut dalam keseruan pulang kampung tahun ini. Apalagi tiga lebaran kami absen mudik, karena pandemi dan pelarangan keluar kota. Maka pada mudik tahun ini, sungguh terasa antusiasmenya.
Ibu tempat tujuan utama, sudah dikabari beberapa hari sebelumnya. Dan beliau adalah orang, paling tidak sabar menunggu bungsunya. Di hari keberangkatan saya, perempuan sepuh (77 tahun) mengulang pertanyaan serupa pada kakak ipar di rumah.