Masa yang lumayan (cukup) rawan bagi saya, ketika memasuki usia 29 tahun. Ibu mendadak berubah sikap, menjadi orang sangat cerewet soal jodoh. Tak henti mengingatkan, agar saya tak berleha-leha. "Kalau di entar-entar, keburu tua kasian anakmu nanti," omel ibu.
Jujurly, dalam hati kecil terpendam keinginan (yang sangat) untuk menikah. Saya sering mati gaya, kalau di kantor ada acara family gathering. Kecuali menghindari topik pernikahan, tak ada hal lain saya lakukan. Toko buku menjadi jujugan saban sabtu malam, dan di sebuah gerai CD terdengar lagu menyentuh hati. Lagu dengan lirik yang dalam, saya yakin diakrabi generasi 90-an
Begitu ingin berbagi batin
Menyusuri hari yang berwarna
Di mana dia pasangan jiwaku
Ku mengejar bayangan kian menghilang
Lagu "Pasangan Jiwa" milik Katon Bagaskara, membuat bola mata menghangat. Menyadarkan usia terus merambat, hanya dalam hitungan bulan genap tigapuluh tahun. Sesampai di kost-an, doa panjang dilantunkan. Meyakini belahan jiwa, bakalan tiba di saat yang tepat.Â
Keyakinan itu saya hunjam dalam, menjadi doa yang selalu diulang. Seolah saya ingin meyakinkan Sang Pemilik Kehidupan, bahwa niat menikah ini sebegitu kuat. Tak ada tujuan lain, guna mendekat diri pada- NYA.
-----
Menjelang pergantian tahun, beban batin bertambah berat. Pertanyaan soal jodoh, kini tak hanya datang dari ibu. Ada saudara jauh, terang-terangan menjatuhkan saya. Kerap saya dibuat tak berkutik, dengan candaan menyinggung. Status jomblo makin terbuka, menjadi bahan ejek teman kantor. Meski saya bisa atasi, kebiasan lontaran konyol teman kantor tanda akrab.