"Hay guy's, hari ini gue mo jalan bareng istri ke kondangan. Nah, gue mo ngeprank bini gue. Jadi critanya, nanti di jalan gue nyuruh temen nelpon, sebelumnya gue udah janjian sih. Pura-puranya, temen ini adalah mantan gue. Ntar kita saksikan bareng, gimana reaksi bini gue."Â
Begitu kira-kira, pengantar video di sebuah chanel Youtube, tak sampai 30 detik ayah muda menyampaikan skenario prank kepada viewers-nya. Kemudian video berganti scene, adegan yang diambil pada beberapa menit berikutnya.
Suasana di dalam mobil, di tengah perjalanan menuju kondangan. Suami berbaju batik di belakang kemudi, sang istri berpakaian rapi duduk bersebelahan dan memangku bayi usia (sekira) satu tahun lebih. Suasana yang sangat wajar, layaknya pasangan pada umumnya sedang ngobrol ringan.Â
Selang beberapa saat, (persis seperti skenario) telpon suami berdering kemudian diangkat. Terjadilah percakapan, entah apa kalimat diucapkan di ujung telepon, tetapi suami muda ini (seperti) sengaja membuat kalimat yang menimbulkan curiga. "Iya, ntar ya" *suara setengah berbisik.
Saya yakin, Kompasianers pasti bisa membayangkan berada di situasi, sebuah percakapan yang sangat mudah memancing orang lain di sebelahnya curiga. Entah dengan nada suara yang direndahkan, atau bahasa tubuh gampang dideteksi seperti agak menjauh, atau memilih kalimat tertentu yang seperti mengandung rahasia.
Sampai adegan ini, saya (bisa juga viewer lain) sudah bisa menebak bagaimana sikap istri setelahnya. Begitu sambungan telepon ditutup, bayangan tentang pertanyaan apa yang bakal muncul benar kejadian.
Mama (M); "Telepon dari siapa Pah?"
Papa (P) ; "Temen Papa"
M ; "Temen siapa, kok ngobrolnya kaya pake rahasia gitu"
P : "Enggak,"
M : "Enggak gimana, wong pakai bisik-bisik gitu"
Dsb...dsb...dsb...... dsb dsb
Sampai di sini, sebenarnya saya sudah nggak berselera mengikuti, tetapi kok nanggung kalau tidak dilanjutkan (susah kan--hehehe). Adegan berikutnya si istri menangis, sembari mengungkapkan rasa kecewa dan menahan sedih.
Kalau memang suami mau ketemuan, kenapa harus pakai ijin segala. Harusnya si suami bisa mengambil sikap dan memutuskan sendiri, dengan mengedepankan dan mempertimbangkan perasaan istri.
"Kalau mau papah pilih mantan, mamah..... (kalimat tidak dilanjutkan, setelah itu nangisnya semakin menjadi)." Suasana berubah melow, apalagi melihat wajah bayi yang polos dan tak paham apa yang terjadi.
Sampai di sini, barulah suami merasa bersalah, menyudahi sesi prank dengan mengaku apa yang dilakukan ke istri adalah murni bercanda. Kemudian ditunjukkan kamera yang posisinya record, diletakkan di dashboard depan.
Tampak si suami berusaha keras, menjelaskan sambil tertawa dan memastikan sang istri  wajahnya ceria dan bibirnya tersenyum. Tapi rasa sedih atas prasangka si istri, rupanya terlanjur memenuhi hati, sehingga butuh waktu untuk meyakinkan diri sendiri.
------
Jujur, untuk materi guyonan macam ini, saya termasuk team pasif dan hanya (sesekali) ikut senyum melalui emoji, Â atau relatif minim respon, tepatnya enggan nyeletuk dan sangat jarang berkomentar. Memang sih guyon, tapi kenapa ya tema poligami menjadi bahan receh yang menarik untuk dijadikan bahan guyonan-- hehehe.
Dulu waktu masih ngantor, ada acara pengajian rutin, seorang ustad bermaksud guyon kepada manager kala itu. "Wah, kalau Pak X ini, sudah pantas nih nambah istri lagi," canda si Ustad. Kami yang hadir dan mendengar, hanya senyum dan saling pandang, karena si bapak manager memang sudah beristri dua.
Untungnya si Ustad benar-benar tidak tahu, jadi guyonan sekilas itu tak menimbulkan rasa tidak enak. Materi pengajian terus dilanjutkan, hingga selesai dan keadaan berjalan dengan wajar dan biasa-biasa saja.
Boleh Guyon, Tapi Perhatikan Batasannya !
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius : (1) nikah (2) talak dan (3) rujuk.
Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, "Para ulama dari yang saya ketahui berijma (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah sama saja (tetap jatuh talak).
Namun, guyonan harus diperhatikan rambu-rambunya, jangan sampai masalah serius dibuat guyon  dan akhirnya kebablasan yang menyesal diri sendiri. Salah satunya masalah perkawinan, bagi saya tidak baik dijadikan bahan guyonan.
Guyon suami istri bisa bernilai pahala, tapi sebaiknya menghindari hal-hal nyerempet bahaya, yang berpotensi pada tercetusnya kalimat talak (baik sengaja atau tidak). Seperti kisah prank di awal tulisan, atau guyon di WAG tentang poligami, kalau tidak jaga kalimat bisa-bisa kebablasan.
Saya yakin, masih banyak bahan guyon lain, yang membuat suasana menjadi lebih cair. Tapi perlu diingat, kalau terlalu sering tertawa juga tidak baik, konon membuat hati menjadi keras, tidak peka pada situasi di sekeliling.
Happy week end Kompasianer, Semoga bermanfaat!