Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ini Alasan Sebaiknya Jangan Menunda Menikah

15 Agustus 2019   07:39 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:15 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu bujangan, saya punya kenalan seorang bapak usia di atas 40 tahun, perawakan beliau gempal dengan perut buncit. "Semangat Yaah, adek jadi penjaga gawang" Siang itu, si Bapak kewalahan, menuruti kemauan anaknya yang "memaksa" bermain bola. Si anak bersikeras, harus ayahnya yang main bola dengannya, tidak boleh diganti orang lain.

Namanya anak-anak, sekian tahun berikutnya saya mengalami, jagoan berumur dibawah 10 tahun senang main bola. Tidak hanya di kamar, tapi di ruang tamu, di teras, apalagi di halaman depan, dua kaki kecilnya tak lepas dari benda bulat empuk itu.

Saking senang main bola, uang jajannya rela dikumpulkan demi membeli bola kulit. Beruntung, ketika si ganteng lagi seneng main bola, saya ayahnya masih tigapuluh-an tahun,  secara fisik tidak gampang kecapekan.

*BalikKeSiBapak

Tidak sampai limabelas menit, si bapak ngos-ngosan dan menyerah, membujuk anaknya agar melanjutkan main bola dengan yang lain. Kedua kaki si ayah seperti tak sanggup, menyangga badan yang gempal tapi empuk itu.

Tanpa pikir panjang, beliau merebahkan diri di lantai, saya dan beberapa teman yang duduk di kursi jadi ancang-ancang melantai juga. "Kalian duduk di situ saja, enggak usah sungkan" ujarnya, membaca keengganan kami.

"Nyesel, kenapa dulu gue nikah telat" gumamnya pelan, tapi saya bisa mendengar

img-20141224-072646-5d54a4700d82306bc65075a3.jpg
img-20141224-072646-5d54a4700d82306bc65075a3.jpg
-----

Di Kompasiana, saya pernah menulis, kisah tentang ibu saya yang berubah menjadi orang yang paling "galak." Ketika mendapati saya ragilnya, menjelang umu tigapuluh tahun, tetapi belum ada tanda-tanda menikah.

Dalam berbagai kesempatan bertemu dan ngobrol, selalu saja tema pernikahan menjadi topik utama dan paling hangat. Untung ibu paham, cukup tahu tempat dan situasi. Obrolan (menurut saya) menyebalkan, dibahas ketika kami sedang berdua saja. Begitu  ada saudara lain mendekat, segera berpindah topik pembicaraan.

Pun ketika ada saudara, terkesan "menjatuhkan" saya anaknya, ibu menjadi orang pertama pasang badan, tak rela anaknya dibully.

"Umur sudah cukup, gaji juga sudah punya, terus apalagi yang diberatin,"

"Kalau ketuaan, kasihan nanti anakmu"

"Milih boleh saja, tapi jangan terlalu pemilih"

"Kalau mau nyari yang seratus persen cocok yang nggak ada, bapak sama ibu juga beda sifat, tapi bisa menyesuaikan dri"

illustrasi-dokpri
illustrasi-dokpri

Saking sering nasehat yang sama diucapkan, saya hapal kalimat perkalimat, bahkan nada dan intonasi suara terbayang di benak. Ada nasehat yang diucapkan sambil judes, ada yang nadanya datar tanpa tekanan, ada juga yang diucapkan dengan tenang dan perlahan tapi dalam, seolah ingin menyentuh lubuk hati terdalam anak bungsunya.

Setelah masa berlalu, saya merasa beruntung punya ibu seperti beliau, ternyata sikap ibu kala itu adalah caranya memotivasi anaknya. Waktu itu memang terkesan menyebalkan, tetapi sejatinya demi kebaikan saya anaknya.

Ini Alasan, Mengapa Sebaiknya Jangan Menunda Pernikahan

Dari serangkaian wejangan ibu, bisa jadi wejangan yang sama diucapkan semua ibu, yang menginginkan anaknya segera melepas masa lajang. Saya simpulkan, setidaknya ada tiga alasan, mengapa sebaiknya kita segera melepas masa lajang.

  • Masa Produktif Itu Terbatas 

Kita manusia, (sudah sunatullah) mempunyai tahapan-tahapan dalam kehidupan, yaitu masa kecil ke remaja, dewasa dan masa tua. Setiap masa memiliki tantangan dihadapi, dan hidup membentuk sedemikan rupa tantangan itu, agar manusia dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap tantangan.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Masa kecil dilewati, kita begitu tergantung dengan orangtua, nyaris semua dihadapi ayah dan ibu menyediakan diri membela anaknya. Kemudian pada masa dewasa, manusia masuk masa produktif.

Kita belajar mandiri, mulai mengatasi semua masalah sendiri tak ingin merepotkan orangtua, Saya pernah membaca satu artikel, masa produktif ibarat berada di siang hari kehidupan. Kita dituntut bekerja keras, mengerahkan segenap daya dan upaya.

Masa produktif ini ada batasnya, seperti siang hari yang akan berangsur sore. Maka masa muda, adalah kesempatan membangun pondasi untuk masa tua. Masa tua menjadi indah, apabila ada pasangan untuk berbagi dan bersama melewati.

Menikah di usia produktif, memberi kesempatan lebih banyak belajar pada banyak hal terutama mengelola ego. Orang yang piawai mengelola ego secara berkelanjutan, niscaya menjelma menjadi pribadi bijak dalam menghadapi masalah.

  • Kekuatan Fisik Ada Batasnya 

Ketika mudik ke kampung, saya pernah iseng meloncat di ruang tengah rumah orang tua, mencoba meraih paku yang dipasang di tiang bagian atas. Saat itu saya sadar, bahwa tidak selincah dan segesit dulu, paku ditempat yang sama itu sekarang tidak bisa saya jangkau.

Persis seperti kisah ayah (saya ceritakan) di awal artikel, pada usia 40 tahun ke atas kemampuan fisik secara alai mulai menurun. Menunda menikah, sama artinya menunda punnya banyak waktu dan tenaga bermain bersama anak.

"Kasihan anakmu nanti" nasehat ibu terngiang.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
  • Masa Tua (Cepat atau Lambat) Akan Tiba

Semasa SMP, saya ditunjuk sebagai panitia idul kurban. Tugasnya membagi-bagikan daging kurban, ke warga yang tinggal sekitar sekolah. Ada satu rumah letaknya agak terpisah, posisinya berada di antara sawah dan kebun.

Rumah berdinding anyaman bambu, pintunya terbuka tetapi seperti tak berpenghuni. Saya dengan dua teman mengetuk pintu, kemudian terdengar suara lirih menjawab salam.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Seorang kakek keluar, kemudian kami menyerahkan sekantong daging dan pamit. Sampai di rumah saya bercerita pada ibu, mendapatkan kabar bahwa kakek sebatang kara itu masih bujang.

Sedih ya, melewatkan masa tua dalam kesendirian. Saya yakin, si kakek membutuhkan ketahanan yang luar biasa. Usia produktifnya telah lewat, kemampuan fisik terbatas, hidup sendiri menjalani sisa waktu hingga ujung jatah umur.

------

Bahwa jodoh sudah ada yang mengatur, saya sangat sepakat, tetapi di dalam pengaturan tersebut, ada peran kita manusia berupa upaya. Datangnya jodoh seperti datangnya rejeki, tidak bisa nongol sendiri tetapi harus dijemput.

Baca : Jangan Malu Minta Tolong Dicomblangi

Kalau sadar diri pemalu, kenapa tidak minta tolong teman atau orang yang dipercaya, untuk menjadi perantara mencarikan kenalan. Bergabung dengan komunitas ta'aruf (sekarang banyak lho), untuk membuktikan pada diri, bahwa telah berupaya maksimal.

Pada ujung tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada teman (yang juga)  Kompasianer (saya cukup akrab dengannya ) yang hendak melaksanakan Ijab kabul-- semoga SAMAWA. Jujur, ide artikel ini muncul, ketika teman ini mengirim undangan pernikahan melalui WA.

Kepada Kompasianer yang tengah berusaha mencari belahan jiwa, percayalah, hidup memiliki caranya sendiri menjawab doa kita. Tugas kita sederhana, mengerahkan segala daya untuk berusaha dan jangan mudah menyerah.

Semoga Bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun