Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemerataan Kualitas Pendidikan melalui Zonasi

13 Agustus 2018   19:40 Diperbarui: 13 Agustus 2018   20:04 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
siswa berangkat ke sekolah - koleksi pribadi

 

Bulan juli lalu, laman medsos saya mendadak riuh. Orang tua memposting kabar gembira (juga sedih), perihal keberhasilan (atau kegagalan) anaknya masuk sekolah dituju. Dua tahun belakangan, status di medsos dibarengi pro kontra pemberlakuan sistem zonasi.

Ya, sejak tahun 2017, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB). Targetnya pemerataan akses layanan pendidikan, sekaligus pemerataan kualitas pendidikan.

Sistem zonasi memungkinkan, siswa dengan tempat tinggal dekat sekolah, memiliki peluang lebih besar diterima di sekolah terdekat.

Saya dulu (saat SD, SMP) merasakan, keuntungan bersekolah dekat rumah. Berangkat dan pulang bisa jalan kaki, hemat biaya transportasi dan waktu tempuh lebih singkat. Kalau sehari saja hemat transport dan jajan, (misal) sepuluh ribu rupiah, kalau sebulan kan lumayan.

Tapi sekolah saya kan di daerah, jumlah sekolahan relatif sedikit.  Berbeda dengan kota besar seperti Jakarta, Jumlah sekolah sampai ratusan. Sekolah tertentu menjadi ter-favorit-kan, tempat siswa dan guru berprestasi berkumpul. 

Memang bagus saja ada sekolah favorit, pada sisi lain akan memicu terjadinya kesenjangan kualitas. Anak pintar yang tinggal di daerah (misal) Jakarta Selatan, pasti memilih sekolah favorit meskipun jauh di daerah  (misal) Jakarta Timur. Padahal banyak sekolah, ada di sekitar atau dekat rumah anak pintar tersebut.

Kebijakan sistem zonasi diambil, sebagai respon atas terjadinya 'kasta' dalam sistem pendidikan. Sehingga siswa-siswi pintar tersebar di setiap sekolah, memungkinkan sekolah punya kompetensi dan daya saing yang baik.

Namun, pemberlakuan zonasi, tidak serta merta menghapuskan SKTM (surat keterangan tidak mampu) dalam PPDB. Mengingat hal ini diatur dalam PP 66 tahun 2010, terdapat prosentase 20% siswa masuk melalui SKTM.

Rupanya celah ini (SKTM), dimanfaatkan orang tua mendadak memiskinkan diri. Ada kejadian lucu di lapangan, orang tua keceplosan ketika ditanya panita apakah membawa SKTM. "Sebentar ketinggalan di mobil," cetus si orang tua tidak sadar. Bayangan, orang memiliki SKTM tetapi punya mobil.

Bagaimana mengadukan kejadian di lapangan seperti ini? Baca sampai tuntas ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun