Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22-23 - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Pulang Kampung, Saatnya Menunaikan Rindu

15 Juni 2018   11:56 Diperbarui: 15 Juni 2018   12:24 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
suasana kampung halaman -dokpri

Sebagai perantau, rasanya mustahil bisa menjejak tanah kelahiran setiap waktu sesuka hati.  Aneka urusan dan keperluan keseharian, lebih menuntut untuk diprioritaskan. Apalagi bagi yang sudah beranak pinak di tanah seberang, rasanya kaki semakin berat dan banyak pertimbangan untuk sekedar melangkah pulang.

Bisa jadi perjalanan hidup memang telah menggariskan, bahwa kampung halaman sebagai tempat singgah sementara. Kampung halaman sebagai tempat darah tumpah, kemudian melewati masa kecil saja. Sedangkan pada masa pencarian kehidupan sesungguhnya, takdir mengggariskan untuk dihabiskan di tempat seberang.

Merantau menjadi alasan bisa kembali pulang, dan lebaran adalah saat membayar alasan itu. Lebaran di kampung halaman, akan menjadi moment sangat dinanti-nantikan. Segera melunasi segala bentuk kekangenan, dengan dunia masa lalu yang telah jauh tertinggal.

Rindu memang tidak bisa didefinisikan, namun perasaan itulah yang menuntun kaki kembali melaju. Kalau burung bangau yang terbang tinggi saja ingat pulang, masak manusia kalah dengan binatang. Orang yang tidak punya rindu, saya kawatirkan  akan acuh dengan muasal dirinya sendiri.

Rindulah yang menggenapkan setiap doa, melengkapi seluruh upaya untuk mewujudkan keinginan kembali pulang. Menjejakkan kaki di kampung sendiri, mengajak kita sejenak kembali ke akar kehidupan itu sendiri. Menilik jejak yang pernah tertinggal, agar kita tidak serta merta melupakan muasal.

Menurut saya, mudik adalah representasi tentang kehidupan hakiki. Bahwa nanti pada saatnya nanti, kita yang ada di alam dunia akan kembali ke alam yang sejati. Ya, mudik yang kita jalani di dunia fana, bisa menjadi pengingat akan kepulangan sebenarnya.

Kompasianers yang masih punya orang tua di kampung,  sebaiknya jangan sia-siakan waktu untuk mengunjungi. Sungguh, memiliki orang tua itu adalah segalanya. Kebahagiaan mereka tak terganti, ketika melihat anak-anaknya bisa dilihat dan dipeluk tangan tangan keriput itu. 

-00o00-

Dengan berkereta, saya dan keluarga akhirnya sampai di kampung halaman H -- 5 lebaran. Mengingat posisi kampung saya di pelosok, butuh usaha ekstra mendapatkan kendaraan mengantar sampai depan rumah.

Kondisi kampung halaman yang --relatif---terpencil, menyebabkan belum dilirik akses transportasi yang memudahkan warganya. Transportasi umum terbatas jam operasionalnya, mengingat kebutuhan orang naik juga masih terbatas. Hanya jam kerja transportasi umum dibutuhkan, selebihnya orang lebih banyak berdiam diri di rumah atau sawah.

kembali ke kampung halaman- dokpri
kembali ke kampung halaman- dokpri
Seberapapun lebih usaha dikerahkan, akhirnya dua kaki ini bisa melangkah halaman rumah. Saya seperti kembali ke suasana masa lalu, namun hadir dengan tampilan kekinian. Meskipun rumah dan bangunan sudah mempercantik diri, tak menghapuskan atmosfir yang kadung melekat.

Para tetangga dengan sikapnya yang tulus, menyapa dengan senyum yang masih saya akrabi. "Kapan datang?", "putranya sudah kelas berapa?" pertanyaan jamak sudah saya perkirakan.

Beruntung masa kekesalan sudah saya lewati, dengan satu pertanyaan puluhan tahun silam (untungnya hanya beberapa orang, sekali lagi beberapa orang, itupun yang ada hubungan darah) "Mana calonnya?" 

Saran saya nih, bagi Kompaianer yang lebaran tahun ini, sudah memperkirakan dihujani pertanyaan tidak mengenakkan itu. Segara rubahlah sudut pandang (meski tidak mudah), bahwa orang yang bertanya sebenarnya sedang mendoakan yang ditanya.

*backtotopik - Hari pertama di Kampung sendiri, nama  dan wajah lama bermunculan di sekitar saya berada. Tidak sengaja berpapasan saat hendak ke masjid, berpunggungan ketika sedang belanja di pasar, bersebelahan ketika antre membayar zakat, bahkan siku berdempetan ketika satu shaf menjalankan taraweh, begitu seterusnya dan seterusnya.

"Lho, kamu kan...," "Lho, dulu kan kamu..." reflek kami saling mengingat, pada bagian kehidupan mana kami pernah bertemu. Kalaupun kami tidak teman sebaya, minimal adiknya atau kakaknya adalah teman saya.

menghabiskan lebaran di kampung -dokpri
menghabiskan lebaran di kampung -dokpri
Siapa tidak girang coba, melihat kembali halaman, taman dan kelas di sekolah dulu tempat menuntut ilmu. Sungai tempat mencari batu kali, berebutan batu bundar ukuran sedang untuk tugas sekolah. Siapa tidak ingin berlarian seperti dulu, ketika melihat tanah lapang tempat pernah berkejaran ikut lomba kasti. Sementara sudut kebun yang sudah kurang terawat itu, dulu tempat mendirikan tenda bersama teman sepermainan, menghabiskan siang ketika bulan Ramadan.

Ah, semua yang berkaitan dengan masa lampau, tak habis menerbitkan rasa haru. Kembali ke tempat di masa dulu,niscaya akan menghadirkan mata kecil yang dulu pernah memandang, menjejali pikiran lampau dan memenuhi segenap perasaan. 

Semakin rasa rindu itu diungkit, semakin mengajak pikiran menjelajahi masa dulu. Semakin rasa rindu menghampiri, bersamaan itu jua rindu itu satu demi satu tertunaikan. Pulang kampung dan hari lebaran, akan saya gunakan untuk  menunaikan rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun