Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Membeli Rumah Secara Tunai adalah Prioritas Hidup yang Telah Kucapai

19 Juli 2017   10:31 Diperbarui: 24 Februari 2022   08:17 2819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pagi gerimis itu semakin sendu, setelah terdengar slentingan ibu terpleset  dan jatuh ke parit. Meski berita itu dibantah sendiri oleh ibu, saksi mata Yu Nem tukang sayur yang kebetulan melihat tidak bisa dianggap dusta. Yu Nem perempuan lugu, mustahil berbohong dalam urusan apapun.

Menjelang awal  tahun sembilan puluhan, kami laki laki enam bersaudara masih bersekolah semua. Kakak tertua baru masuk kuliah, saya paling kecil duduk di bangku sekolah dasar -- ga usah hitung umur saya ya hehe #eh.

Betapa repot keadaan ekonomi orang tua, saat masuk tahun ajaran baru pengeluaran membengkak. Kebiasaan ibu berhutang tak bisa disembunyikan, terpaksa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anaknya. Ayah seorang guru dengan gaji tak seberapa, musti dicarikan tambahan agar semua kebutuhan terpenuhi.

Kesulitan dialami orang tua terus terekam benak, menanam tekad kuat dalam diri si bungsu. Besar keinginan meringankan beban orang tua, minimal tidak menambahi tanggungan yang ada. Selepas si ragil menamatkan Sekolah Atas, bersamaan ayah mulai memasuki masa pensiun.

Seperti  kebiasaan anak sebaya di kampung, saya memutuskan merantau ke Kota Pahlawan.  Berbekal ijazah SMA memasukkan lamaran ke banyak kantor, akhirnya diterima sebagai pegawai rendah di sebuah perusahaan swasta.

Gaji pertama diterima sebelum umur duapuluh tahun, sungguh saya mulai berhitung masalah pengeluaran. Upah sebulan langsung dibagi tiga puluh, hasil pembagiannya menjadi patokan besaran pengeluaran harian.

Mulai ongkos naik angkot, makan tiga kali sehari dan kebutuhan lainnya tak boleh melebihi jatah ditentukan. Dengan penghasilan tidak seberapa, saya siasati dengan puasa senin kamis, ikut pengajian malam jumat di masjid agar bisa makan malam gratis.

Pengiritan demi pengiritan dilakukan, pada akhir bulan ada sisa uang hasil berhemat. Saya buka rekening Bank pada umur sembilan belas, lima lembar uang dua puluh ribuan disetorkan ke teller.

Pengelolaan keuangan saya  sangat sederhana (sampai sekarang), bisa tidak bisa uang yang ada harus cukup memenuhi kebutuhan sebulan. Saya sangat menghindari berhutang, belajar dari pengalaman ibu yang kerepotan.

"Ibu saja yang pontang panting cari utangan, kamu ojo niru yo le" kalimat ibu terngiang sampai sekarang.

Nasehat sederhana menghunjam kalbu, menumbuhkan ide tentang Financial Planing. Saya terbiasa mengumpulkan uang dari jauh hari, untuk keperluan besar beberapa bulan/ tahun kedepan.

Misalnya ketika punya rencana kuliah, setahun sebelumnya sudah mencari informasi tentang kampus dan biaya diperlukan. Dengan tahu besaran uang kampus dituju, saya berhitung berapa uang harus ditabung setiap bulan.

Sehingga pada hari pendaftaran tiba, sudah tersedia uang untuk melunasinya. Tidak perlu mengulang kisah ibu, yang kerepotan mencari pinjaman.  

Beruntung pada tahun kedua gaji mengalami kenaikan, langkah saya semakin ringan menuju gerbang kampus swasta di Surabaya. Membayar uang kuliah dengan gaji sendiri, adalah kebahagiaan tak ternilai sekaligus keputusan berat dijalani.

Pendidikan menjadi Prioritas Hidup, dari tempat perkuliahan saya bayangkan terbuka kesempatan lebih luas.  Jatuh dan bangun kuliah sambil kerja saya lakoni, termasuk membawa dagangan baju untuk dijual ke teman kampus.

Pada semester enam dugaan itu benar, dari seorang kenalan terbuka jalan bekerja part time di stasiun Radio. Dalam seminggu mendapat jadwal tiga kali siaran malam, yaitu hari sabtu, minggu dan senin sepulang kuliah.

Saya mulai jeli membagi waktu, antara ke kampus dan kerja di dua tempat. Karena sabtu dan minggu kantor dan kampus libur, hanya pada hari senin saya musti berkejaran dengan waktu.

Senin jam enam pagi berangkat dari kostan, dengan bus menuju kantor di daerah Jembatan Merah. Pulang kerja langsung ke kampus sampai jam delapan, lanjut siaran sampai jam sebelas malam.

Illustrasi-dokpri
Illustrasi-dokpri
Mengelola Keuangan Berkaca dari Kisah Teman Kantor

Bergaul dengan teman lebih tua di kantor, memberi prespektif tentang kehidupan pasca pernikahan. Banyak kisah bisa menjadi pelajaran, dari kawan lelaki usia sekitar 35 tahun berasal Madura.

"Kapan bisa belajar jadi kepala keluarga" keluhnya

Rupanya teman ini tinggal serumah dengan mertua, merasa tidak leluasa mengelola urusan rumah tangga sendiri. Kalau ada masalah kecil dengan istri, mertuanya ikut campur menyelesaikan.

Teman satu ini punya kebiasaan mirip ibu saya, berhutang untuk memenuhi kewajiban bayar ini dan itu. Satu hal yang sering diucapkan, buat bayar cicilan motor yang masih duapuluh empat bulan lunas.

Menabung menjadi solusi sekaligus Pilihan Jenius, untung sudah saya terapkan dari awal punya gaji. Dari menabung saya bisa membiayai kuliah sendiri, sampai lulus dan mengenakan baju toga pada hari wisuda.

-Bola mata ibu berkaca-kaca, melihat anaknya mengenakan baju warna hitam seperti jaksa saat memimpin sidang-

Dari siaran di Radio mulai banyak kenalan di media, selepas lulus kuliah bergabung sebagai marketing iklan sebuah koran ternama di Surabaya. Pagi hari ngantor di surat kabar, sore hari siaran mulai hari senin sampai sabtu.

Alhamdulillah, target penjualan iklan tercapai pada tiga bulan pertama. Komisi  langsung ditabung, ada prioritas yang ingin dicapai saat itu. Setahun dua tahun berjalan, akhirnya roda dua adalah barang mahal pertama berhasil dibeli sendiri.

"Cicilan bulanan berapa" suara ibu terdengar dari ujung telepon

"Saya beli tunai, buk"

Intonasi suara perempuan sepuh berubah riang, anaknya memenuhi kebutuhan tanpa berhutang seperti dirinya.

Cita-Cita Membeli Rumah dengan Tunai

Usia merambat menuju tahun ke duapuluh lima, saya mulai berpikir menabung untuk kehidupan pasca menikah -- padahal belum ada calon.

Yup, saya pengin bisa membeli rumah seperti saat membeli motor. Kisah teman kantor lama tentang keluarga, membulatkan tekad mengumpulkan uang semampu saya.

Komisi penjualan iklan tak dihamburkan hamburkan, serupiah dua rupiah tidak diotak atik agar terkumpul. Ketika di rekening tersimpan (misalnya) lima belas juta juta, maka sepuluh juta langsung disimpan dalam bentuk deposito. 

Deposito sengaja saya pilih, agar tidak bisa mengambil uang sesuka hati sebelum jatuh tempo. Ada konsekuensi ditanggung pemilik uang, apabila mencairkan sebelum tanggal disepakati.

Sebagai bujangan cukup umur dan belum punya calon, saya sudah menyimpan beberapa lembar deposito dengan nilai berbeda. Saya memaksa diri disiplin menyimpan uang, demi tercapainya prioritas hidup.

"Saya pengin beli rumah secara cash" bisik benak ini.

Saya ingat pesan motivator, harapan yang disebutkan berulang akan tertanam di alam bawah sadar.  Harapan yang sering diucapkan dalam hati, akan memompa semangat untuk meraihnya. Ada tehnik yang dinamakan afirmasi, adalah menggambarkan pengharapan secara lebih terstruktur, detil, tegas didasarkan pada pemikiran positif.

Maka saya membayangkan rumah yang ingin dibeli, mulai dari luas tanah, bentuk dan warna pintu gerbang, bagaimana terasnya, garasi, jendela, pintu, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar tidur dan kamar mandi dan seterusnya.

Jelang usia kepala tiga, bertemu jodoh dan menikah secara sederhana namun berjalan lancar. Komplit enam bersaudara laki-laki  berkumpul, ayah dan lima kakak memakai beskap, sementara penampilan ibu membuat sanak kerabat termasuk saya anaknya pangling.

Seumur umur baru sekali melihat ibu dimake-up, polesan bedak dan lipstik lipis mampu menyulap wajah sederhana itu.

Seperangkat alat sholat dan cincin pernikahan dibayar tunai, dipersiapkan tanpa mencairkan deposito.

Tinggal di kontrakkan dokpri
Tinggal di kontrakkan dokpri
Bersama anak istri-dokpri
Bersama anak istri-dokpri
Empat bulan sebelum menikah, saya sudah mendapat kontrakan dengan harga sangat miring. Tiga ruang kantor pensiunan tidak terpakai disewa, meminjam nama mertua yang juga anggota pensiunan. Saya lega, cita-cita awal menikah tercapai, yaitu tidak tinggal seatap dengan mertua.

Setahun pernikahan buah hati kami lahir, kami masih tinggal di rumah kontakkan. Meski tabungan belum cukup, kami mulai giat mencari rumah dengan harga terjangkau. Hanya dengan bekal googling, mendatangi satu persatu rumah daerah Tangsel yang diiklankan.

Mulai dari perumahan baru dibangun, rumah di perumahan lama yang dijual atau rumah di perkampungan tak luput dari perhatian. Langkah kami mundur teratur, setelah mendengar harga dipasang oleh penjual.

Masuk tahun ke tiga pernikahan, uang di deposito membuat PD mencari rumah. Harga rumah baru (cluster) pada kisaran dua ratus lima puluh juta, dengan luas tanah enam puluh meter persegi.

Membaca buku Mestakung karya Prof Yohanes Surya, semakin mengokohkan keyakinan kami. Ada teori dinamakan semesta mendukung (disingkat Mestakung), akan menghampiri orang orang yang berusaha dengan sungguh.

Pada orang yang berusaha maksimal, lingkungan di sekelilingnya akan memberi bantuan. Dalam buku tersebut dicontohkan, orang bisa melompati tembok tinggi ketika ketakutan dikejar anjing.

Masuk tahun ke empat pernikahan,  ibu mertua membawa kabar ada nenek  hendak menjual rumah dengan harga murah. Mendekati usia delapan puluh tahun, perempuan renta ini pengin tinggal di rumah anak pertamanya.

Sebuah rumah di komplek lama (tahun 80-an), dengan tanah seluas dua kali rumah di cluster baru. Malam itu kami menyambangi  si nenek, terucap angka dua ratus juta tapi langsung diberi discount.

Jantung ini berdegup kencang, ketika tabungan hanya kurang lima belas juta dari harga disebutkan. Kami masih menawar harga setelah discount, berharap bisa sama dengan tabungan dimiliki. Empunya rumah besikeras tak mau turun, saat kami pasrah sulung si nenek mau menurunkan sedikit.

Saya dan istri menyanggupi dan sedikit lega, meskipun belum tahu mencari kekurangan yang musti ditanggung. Satu demi satu deposito dicairkan sesuai tanggal jatuh tempo, sembari memutar otak mencari kekurangan.

Mestakung benar-benar kami alami, ketika deposito terakhir dicarikan dan kekurangan belum didapatkan. Kakak ipar berlapang hati mengulurkan tangan, "pakai saja dulu,  ngembaliin kalau sudah longgar"

membeli rumah setelah menabung lama-dokpri
membeli rumah setelah menabung lama-dokpri
"Alhamdulillah" bisik saya, cita-cita membeli rumah dengan tunai tercapai. Kebaikan kakak ipar saya balas, setahun berikutnya uang saya kembalikan plus  barang disukainya.

Saya percaya, setiap Kompasianer pasti punya keinginan besar dalam setiap tahap kehidupan. Setiap Pilihan Jenius yang kita ambil, niscaya akan mempermudah jalan untuk mewujudkan prioritas tersebut.

Kisah yang saya sampaikan bukan untuk pamer, tapi untuk sekedar berbagi pengalaman senoga bisa menginspirasi. Mumpung masih bulan syawal, mohon dimaafkan apabila ada salah kata ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun