Pengalaman yang diceritakan oleh Jerome Polin merupakan salah satu contoh proses komunikasi antar budaya dimana ia yang berasal dari Indonesia berinteraksi dengan salah satu warga Jepang yang memiliki budaya berbeda. Dalam proses komunikasi tersebut terjadi perbedaan makna antara warga Jepang sebagai seorang komunikator dengan Jerome Polin sebagai komunikan sehingga Jerome Polin merasakan adanya tekanan (gegar budaya). Dalam interaksi tersebut secara terang-terangan salah satu pengunjung onsen melepaskan seluruh pakaiannya di depan Jerome Polin karena merasa hal tersebut merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya terjadi. Namun Jerome memaknai hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu dan merasa tindakan tersebut tidak sopan. Meskipun keduanya tidak berbicara satu sama lain, proses tersebut tetap termasuk dalam proses komunikasi antar budaya karena pesan yang dipertukarkan merupakan pesan non verbal.
Tindakan telanjag yang dilakukan oleh salah satu pengunjung merupakan termasuk dalam tanda (sign) yang dipertukarkan. Suatu tanda merupakan kombinasi dari penanda dan petanda. Dalam ketegangan yang terjadi terdapat perbedaan petanda sebagai rujukan dari penanda yang dipertukarkan (telanjang). Rujukan yang berbeda antara salah satu pengunjung dengan Jerome didasarkan adanya budaya yang berbeda. Lantas apa makna dari telanjang itu sendiri bagi Indonesia dan Jepang?
Makna Telanjang sebagai Ritual Budaya Onsen
Jika melihat dari konteks terjadinya pertukaran pesan non verbal (telanjang) yang dialami oleh Jerome Polin. Interaksi tersebut terjadi saat dia berada di tempat pemandian umum (onsen) sehingga pemaknaan dari pesan non verbal tersebut berada pada konteks tempat pemandian umum atau onsen. Wiyatasari (2021) menjelaskan bahwa onsen merupakan salah satu budaya masyarakat Jepang dimana mereka sejak kecil sudah sangat terbiasa melihat onsen bahkan hidup mereka tidak bisa dipisahkan dari onsen. Budaya tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Shinto yang dianut oleh masyarakat Jepang. Wiyatasari (2021) secara lebih jauh menjelaskan bahwa budaya mandi merupakan salah budaya yang diajarkan oleh aliran Shinto sebagai hal yang dipercayai untuk membersihkan jiwa dan raga. Bahkan budaya mandi yang diterapkan dalam onsen dilihat sebagai sesuatu yang sangat spiritual dan sarana untuk menjalin komunikasi dalam hubungan sosial. Wiyatasari juga menjelaskan bahwa di Jepang terdapat istilah "Hadaka no  Tsukiai" dimana telanjang dianggap sebagai suatu proses komunikasi  atau cara orang berbicara satu sama lain di onsen, selain sebagai ritual dalam proses mandi itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rujukan dari simbol telanjang bagi pengunjung onsen dilihat bukan sebagai hal seksual, melainkan dimaknai sebagai proses komunikasi yang lumrah dilakukan oleh manusia.
Makna Telanjang di Indonesia
Setelah memahami pemaknaan simbol telanjang saat di pemandian umum (onsen) bagi masyarakat Jepang. Selanjutnya perlu dipahami pula makna petanda atau rujukan dari simbol telanjang bagi Jerome Polin yang berasal dari Indonesia. Jika melihat latar belakang budaya Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama islam, tentu telanjang di pemandian umum merupakan hal yang dianggap tabu dan seharusnya tidak dilakukan. Melansir dari laman https://kesan.id/ dalam agama islam telanjang atau memperlihatkan aurat adalah hal yang diharamkan (dilarang) bahkan jika dilakukan oleh orang yang memiliki gender sama. Hal ini diperkuat oleh HR. Muslim no. 338 yang berbunyi ''Tidak boleh laki-laki melihat pada aurat laki-laki lain, tidak boleh pula perempuan melihat pada aurat perempuan lain, dan tidak boleh laki-laki mendatangi laki-laki lain dalam satu pakaian (tidur dalam satu pakaian atau selimut dengan saling bersentuhan kulit), begitu juga dengan perempuan". Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rujukan dari simbol telanjang bagi Jerome Polin yang membawa nilai-nilai budaya Indonesia adalah sebagai hal yang dilarang dan tidak diperbolehkan.
Lantas, wajar gak sih culture shock terjadi?
Culture shock  yang terjadi diakibatkan oleh perbedaan pemaknaan antara Jerome Polin dengan pengunjung Jepang dimana saat itu Jerome Polin tidak mengartikan telanjang sebagai salah satu budaya onsen. Telanjang sebagai suatu simbol penanda maknanya akan sangat bergantung dari petanda. Dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan kajian semiotika penanda dilihat bukan sebagai suatu hal yang bersifat individual melainkan bagaimana penanda tersebut dikombinasikan dan dikonfigurasi untuk dapat menetapkan keseluruhan sistem semiotika dalam menciptakan makna. Melalui kajian ini dapat dipahami apabila kita mencoba memaknai suatu pesan non verbal yang dipertukarkan melalui kajian semiotika akan sangat membantu memecahkan kode-kode dari kerangka budaya lain. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Martin dan Nakayama (2022) bahwa sistem semiotika memang akan sangat bergantung pada banyaknya kode yang diambil dari beragam konteks dan tempat seperti institusi ekonomi, sejarah, politik, agama, dan sebagainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI