Mohon tunggu...
agnes windanoventia
agnes windanoventia Mohon Tunggu... Lainnya - agnes

Mahasiswa FIB Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Marginalisasi Perempuan Indonesia dan Jepang di Masa Modern

20 Desember 2022   14:37 Diperbarui: 20 Desember 2022   14:48 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dalam martabat, derajat dan harkat yang sama. Meskipun begitu laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang sangat signifikan dalam konsep jenis kelamin. Konsep jenis kelamin dan gender itu sangat berbeda, jenis kelamin berupa alat kelamin yang ada di laki-laki dan perempuan sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada laki-laki ataupun perempuan. Kita pasti sudah sering mendengar mengenai maskulin dan feminim. Maskulin merupakan gambaran sifat laki-laki yang keras, kuat, dan rasional. Sedangkan feminim merupakan gambaran sifat perempuan yang lemah lembut, berperasaan, dan keibuan. Seiring berjalannya waktu terbentuklah perbedaan gender yang diciptakan oleh masyarakat yang dibentuk, dan dikonstruksikan secara sosial melalui peraturan negara atau ajaran agama. Jadi segala bentuk ketimpangan gender merupakan kebiasaan dalam suatu budaya masyarakat.

Marginalisasi dalam KBBI memiliki arti usaha untuk membatasi. Menurut Murniati marginalisasi merupakan proses peminggiran atau pengabaian hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia (dalam Derana, 2016:168). Fenomena marginalisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses peminggiran akibat perbedaan jenis gender yang mengakibatkan kesenjangan. Marginalisasi bukan hanya terjadi di bidang sosial saja antara kaya dan miskin, akan tetapi juga terjadi pada gender laki-laki dan perempuan.

Marginalisasi ini dapat dengan mudah diciptakan seseorang untuk menyingkirkan atau membatasi kelompok lain. Ada dua cara yang paling sering dilakukan yaitu dengan melakukan konstruksi sosial dan asumsi gender. Marginalisasi merupakan bentuk ketidakadilan dimana pemberian hak kepada individu tidak sesuai. Kesenjangan antar gender sangat banyak terjadi di berbagai negara. Di Dalam artikel ini saya akan membahas mengenai marginalisasi perempuan di Indonesia dan Jepang terutama pada masa modern.

Marginalisasi banyak disebabkan oleh asumsi dari masyarakat itu sendiri. Sebagai seorang wanita dengan perawakan yang lebih kecil dari seorang laki-laki tentunya sering diremehkan dan dianggap lemah. Perempuan juga sering dianggap remeh ketika melakukan suatu pekerjaan dikarenakan mereka sudah memberi label bahwa perempuan hanya baik dalam mengerjakan tugas rumah saja. Asumsi yang demikian semakin memperburuk kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Di jepang seorang wanita dituntut agar bisa melayani suami dan mendidik anak secara penuh dalam tanda arti perempuan hanya boleh berada didalam rumah saja. Pada zaman Meiji ada suatu paham yang disebut dengan "Ryousai Kenbo" yang memiliki arti istri yang baik ibu yang bijak. Paham ini memiliki tujuan untuk membatasi seorang wanita agar lebih berfokus pada keluarga bukan pada karir.

Seiring perkembangan zaman banyak sekali perubahan yang terjadi didalam tatanan konstruksi sosial budaya didalam suatu masyarakat.  Akan tetapi meskipun zaman sudah modern marjinalisasi terhadap perempuan masih banyak terjadi di masyarakat.  Pada paragraf selanjutnya saya akan membahas mengenai beberapa contoh kejadian marginalisasi yang ada di Jepang. Di jepang seorang perempuan banyak dipandang remeh terutama didalam hal mengerjakan pekerjaan kantor.  Hal itu terjadi dikarenakan masyarakat Jepang sudah terbiasa dengan anggapan bahwa wanita hanya bisa bekerja didalam rumah saja.  Maka dari itu ketika melihat ada seorang wanita yang bekerja di sebuah perusahaan maka secara tidak langsung mereka menjudge bahwa kinerja seorang perempuan itu tidak bagus.

Di Jepang seorang perempuan sangat sering direndahkan dalam suatu perusahan, selain itu seorang wanita juga sangat dipersulit untuk masuk ke dalam jabatan-jabatan khusus dengan alasan ditakutkan bahwa seorang perempuan tidak akan focus terhadap pekerjaan dan akan lebih focus pada keluarganya.  Bukan hanya ruang gerak perempuan yang terbatas, akan tetapi juga adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan seorang perempuan akan sulit mendapatkan promosi pekerjaan tidak seperti laki-laki, terutama bagi perempuan yang sudah memiliki anak. 

Menurut situs yang telah saya baca mengenai perjuang seorang ibu dalam dunia pekerjaan, membuat saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi mengenai keseimbangan gender yang ada di Jepang.  Ia mengaku cukup merasa kesulitan ketika berada di perusahaan tempat ia bekerja.  Karena sikap orang-orang disekitarnya yang sangat membeda-bedakan dan menganggap bahwa seorang ibu tidak bisa melakukan pekerjaan kantor sebaik laki-laki ataupun wanita lajang. Kendati demikian ia selalu berusaha keras untuk membuat citra baru dihadapan teman-teman kantornya, akan tetapi hal itu cukup sia-sia. Ia tidak bisa naik jabatan, sangat kurang dalam mendapatkan promosi, diberikan beban tugas yang sangat sedikit dan yang paling menjengkelkan adalah gaji yang didapat juga berbeda dari teman-temannya yang lain.  Peristiwa seperti ini bukan hanya terjadi pada 1 atau 2 perempuan saja akan tetapi hampir seluruh perempuan Jepang merasakan adanya dinding yang membatasi mereka untuk meraih posisi didalam pekerjaan.

Dari kisah diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan berdasarkan pendekatan Teori Fungsionalisme yang berpandangan  bahwa secara teknis masyarakat dapat dipahami dengan melihat sifatnya sebagai suatu analisis system sosial, dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya tersusun kepada bagian-bagian secara struktural, dimana dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem dan faktor-faktor yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya masing-masing.  Masyarakat Jepang sudah terbiasa menganggap wanita hanya bisa bekerja di rumah saja, maka dari tu meskipun zaman sudah berubah dan semakin maju, pola pikir yang demikian sangat lah sulit dirubah karena sudah menjadi sistem sosial di masyarakat Jepang.

Maka dari itu tidak salah apabila banyak perempuan di Jepang yang memilih karir dari pada menikah. Karena ketika menikah seorang perempuan harus siap menerima kenyataan bahwa karir yang sudah dibangun dari nol akan hancur.  Dampaknya adalah jumlah kelahiran di Jepang terbilang cukup sedikit dari pada negara-negara di sekitarnya.

Bagimana dengan di Indonesia? Apakah marginalisasi juga terjadi di Indonesia? Jawabannya adalah benar, marginalisasi pernah terjadi di Indonesia terutama sebelum Indonesia merdeka. Yang dimana seorang perempuan dilarang untuk mengenyam pendidikan, dan hanya boleh membantu didalam rumah saja. Dengan adanya peraturan yang demikian, sangat membatasi perempuan.  Pada akhirnya masa-masa kelam perempuan berangsur-angsur membaik, ketika R.A Kartini yang dikenal sebagai pahlawan kebangkitan perempuan, mulai menyerukan pentingnya pendidikan pada kaum perempuan.  Dengan diam-diam Kartini mulai mengarjakan berbagai ilmu yang sudah ia pelajari kepada perempuan-perempuan muda pada zaman itu.  Dengan kegigihan dan kerja keras, para perempuan akhirnya bisa mendapatkan hak-hak nya sama seperti kaum laki-laki.  Dengan perkembangan ke zaman modern, marginalisasi di Indonesia sudah teratasi sangat baik.  Hal ini dilihat dari pekerja perempuan yang juga dapat menduduki suatu jabatan.  Hal itu dikarenakan masyarakat Indonesia tidak memiliki pandangan dari masyarakat seperti di Jepang yang menganggap bahwa laki-laki berada di atas perempuan.  Maka hal ini sangat berpengaruh pada pada keseimbangan gender di suatu tatanan masyarakat.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun