Mohon tunggu...
AGNA ERNISA TIFANI
AGNA ERNISA TIFANI Mohon Tunggu... Mahasiswa

NIM: 41123110003 | Program Studi Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Mercu Buana | Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB | Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, Ak., M.Si, CIFM, CIABV, CIABG

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuis 8 - Ranggawarsita Tiga Era: Kalasuba, Kalatidha, Kalabendhu, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

11 Februari 2025   22:06 Diperbarui: 11 Februari 2025   22:06 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 3 oleh Prof. Apollo)

Pendahuluan

          Dalam sejarah sastra dan kebudayaan Jawa, sosok Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga besar yang mampu meramalkan perubahan zaman melalui karyanya. Dalam serat-seratnya, seperti Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu, ia menggambarkan dinamika sosial dan moral masyarakat pada masanya serta memberi isyarat mengenai kondisi masa depan. Salah satu isu yang relevan dengan prediksinya adalah fenomena korupsi di Indonesia, yang terus menjadi permasalahan utama dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Melalui pemahaman terhadap pandangan Ranggawarsita, kita dapat merefleksikan bagaimana peristiwa masa lalu dan ramalan budaya dapat memberikan wawasan terhadap kondisi saat ini.

Apa Itu Tiga Era Ranggawarsita?

          Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah seorang pujangga Jawa terkemuka yang hidup pada abad ke-19. Lahir pada 14 Maret 1802 di Surakarta, ia dikenal sebagai filsuf dan penyair yang karya-karyanya mencerminkan kondisi sosial dan budaya masyarakat Jawa pada masanya. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah konsep tentang tiga era kehidupan manusia, yaitu Kalasuba, Kalatidha, dan Kalabendhu. Konsep ini tidak hanya relevan pada zamannya, tetapi juga memberikan perspektif mendalam tentang dinamika sosial dan moral yang masih dapat diaplikasikan hingga saat ini, terutama dalam memahami fenomena korupsi di Indonesia.

Era Kalasuba (Zaman Keemasan)

          Era Kalasuba digambarkan sebagai masa kejayaan, kesejahteraan, dan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pada masa ini, hukum ditegakkan dengan adil, pemimpin memiliki kebijaksanaan, serta masyarakat hidup dalam suasana damai dan makmur (Ranggawarsita, 1873). Konsep ini sering dikaitkan dengan harapan akan datangnya Ratu Adil, seorang pemimpin yang diidealkan dapat membawa kemakmuran bagi rakyatnya (Muljana, 2005).

          Era ini juga ditandai dengan keberagaman sosial yang tetap harmonis dan keadilan yang ditegakkan dengan baik. Sistem politik pada masa Kalasuba cenderung stabil karena penguasa memerintah dengan kebijaksanaan dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Masyarakat hidup dalam nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kesederhanaan, dan kepatuhan pada aturan hukum yang adil. Menurut teori sosial, era Kalasuba mirip dengan konsep Golden Age atau zaman keemasan yang pernah terjadi dalam berbagai peradaban di dunia, seperti masa keemasan Islam pada abad ke-8 hingga ke-13 atau zaman Majapahit di Nusantara (Ricklefs, 2008).

Era Kalatidha (Masa Ketidakpastian)

          Era Kalatidha adalah masa transisi dari keteraturan menuju kekacauan. Dalam Serat Kalatidha, Ranggawarsita menyebutnya sebagai jaman edan, di mana kejujuran mulai luntur, orang-orang baik tersingkir, dan masyarakat mulai kehilangan arah moral (Ranggawarsita, 1873). Ia menulis dalam Serat Kalatidha:

"Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, milu edan nora tahan, yen tan milu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun."

          Artinya, seseorang dihadapkan pada dilema moral yakni ikut menjadi bagian dari "jaman edan" atau memilih tetap teguh dalam kebenaran dengan risiko kehilangan segalanya (Zoetmulder, 1983).

          Era ini juga ditandai dengan meningkatnya kepentingan pribadi, pragmatisme, dan kemerosotan nilai-nilai sosial. Individu yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral sering kali dikucilkan, sementara mereka yang menyesuaikan diri dengan sistem yang rusak lebih mudah meraih keuntungan. Ini merupakan masa di mana perbedaan kelas sosial semakin terlihat, ketidakadilan meluas, dan pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi (Haryono, 1999).

Era Kalabendhu (Zaman Kekacauan dan Kehancuran)

          Era Kalabendhu adalah puncak dari kehancuran moral dan sosial. Ranggawarsita menggambarkan masa ini sebagai era di mana keburukan lebih mendominasi dibandingkan kebaikan, hukum tidak lagi ditegakkan dengan benar, dan para pemimpin hanya mementingkan kepentingan pribadi (Ranggawarsita, 1873).

          Dalam era ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun drastis, serta terjadi banyak konflik sosial dan ketimpangan ekonomi (Purwadi, 2010). Struktur pemerintahan menjadi lemah, korupsi merajalela, dan berbagai bentuk ketidakadilan semakin mengakar dalam kehidupan sosial. Masyarakat semakin terpecah-belah, dan norma-norma sosial mulai runtuh akibat ketidakadilan yang terus-menerus terjadi.

          Dalam konteks sejarah Indonesia, masa-masa yang mencerminkan era Kalabendhu dapat ditemukan pada masa kolonialisme, Orde Lama yang penuh gejolak politik, serta Orde Baru yang sarat dengan praktik korupsi (Schwarz, 1994). Masa ini mencerminkan kehancuran yang disebabkan oleh keserakahan dan hilangnya kepercayaan terhadap sistem pemerintahan serta kepemimpinan yang tidak berpihak pada rakyat.

Perbedaan Antara Ketiga Era

          Perbedaan mendasar antara ketiga era ini terletak pada kondisi moral, sosial, dan politik masyarakat. Kalasuba adalah masa kejayaan dengan integritas tinggi dan keadilan yang merata. Kalatidha menandai awal kemerosotan nilai-nilai tersebut, di mana ketidakpastian dan keraguan mulai muncul. Sementara itu, Kalabendhu adalah puncak dari kemerosotan tersebut, ditandai dengan kegelapan moral dan sosial yang mendalam.

Fenomena Korupsi di Indonesia

          Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah kronis yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Menurut Indeks Persepsi Korupsi 2023 yang dirilis oleh Transparency International, Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100, menunjukkan tingkat korupsi yang masih tinggi. Korupsi terjadi di berbagai sektor, mulai dari penegakan hukum hingga pelayanan publik. Misalnya, survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memiliki tingkat integritas terendah dibandingkan dengan layanan publik lainnya, dengan keputusan yang dianggap tidak adil dan biaya tidak resmi yang tinggi.

          Selain itu, dalam sektor pelayanan sipil, survei menemukan bahwa hampir setengah dari pegawai negeri sipil mengakui menerima suap. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam birokrasi Indonesia. Pada tahun 2011, Indonesia Corruption Watch melaporkan bahwa negara kehilangan sekitar Rp2,13 triliun akibat korupsi, dengan penggelapan sebagai penyumbang terbesar.

          Ajaran Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha dan Kalabendhu memiliki relevansi kuat dengan fenomena korupsi di Indonesia. Serat Kalatidha menggambarkan zaman penuh ketidakpastian moral di mana banyak orang lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kebaikan bersama. Dalam konteks korupsi, hal ini tercermin pada pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi, sementara kejujuran justru dianggap sebagai kelemahan. Mereka yang tetap berpegang pada prinsip moralitas sering kali tersisih dalam sistem yang telah rusak. Serat Kalabendhu menunjukkan bahwa ketika moralitas pemimpin hancur, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ikut runtuh. Hal ini tampak dalam maraknya kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan pejabat tinggi, menyebabkan ketimpangan sosial dan apatisme publik terhadap hukum. Akibat dari budaya korupsi ini, tata kelola pemerintahan menjadi lemah, sementara rakyat kecil semakin sulit mendapatkan keadilan. Namun, Ranggawarsita juga memberikan harapan bahwa perubahan dapat terjadi ketika kesadaran kolektif untuk kembali kepada nilai-nilai kebaikan mulai tumbuh. Pendidikan moral, kepemimpinan berintegritas, serta kesadaran masyarakat terhadap pentingnya transparansi menjadi kunci dalam melawan korupsi. Dengan menerapkan ajaran eling lan waspada, bangsa ini dapat keluar dari zaman kegelapan dan menuju pemerintahan yang lebih adil serta bersih dari korupsi. 

(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 4 oleh Prof. Apollo)
(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 4 oleh Prof. Apollo)

          Kemudian Sigmund Freud membagi tiga struktur kepribadian manusia, di antaranya Id, Ego, dan Superego, yang berkaitan dengan bagaimana manusia membuat keputusan moral dan etis dalam hidupnya. Konsep rasio 2:1 menunjukkan bahwa dalam situasi tertentu, keburukan lebih sering terjadi dibandingkan kebaikan.

          Ada tragedi yang dikenal dengan Tragedi Aksara Jawa, yaitu kisah Ajisaka dan Dora-Sembada, yang mana ini mengisahkan konflik kepemimpinan dan kesetiaan yang berakhir dengan tragedi. Kisah Ajisaka dan kedua abdinya, Dora dan Sembada, merupakan legenda Jawa yang menjelaskan asal-usul aksara Jawa. Cerita ini mengandung tema kepemimpinan, kesetiaan, dan tragedi akibat kesalahpahaman perintah. Menurut legenda, Ajisaka adalah seorang pemuda sakti yang datang ke tanah Jawa bersama dua abdinya, Dora dan Sembada. Sebelum berangkat untuk mengalahkan raja lalim Prabu Dewata Cengkar di Medang Kamulan, Ajisaka meninggalkan pusakanya dan memerintahkan Sembada untuk menjaganya dengan pesan agar tidak memberikannya kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Setelah berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, Ajisaka mengutus Dora untuk mengambil pusaka tersebut. Namun, Sembada menolak memberikan pusaka itu kepada Dora karena berpegang pada perintah awal Ajisaka. Akibatnya, terjadi pertarungan antara Dora dan Sembada yang berakhir dengan kematian keduanya. Mengetahui hal ini, Ajisaka menyesali perintahnya yang ambigu dan untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya, ia menciptakan aksara Jawa yang terdiri dari 20 huruf: "Ha Na Ca Ra Ka" (ada utusan), "Da Ta Sa Wa La" (saling berselisih), "Pa Dha Ja Ya Nya" (sama-sama sakti), "Ma Ga Ba Tha Nga" (sama-sama menjadi mayat). Legenda ini mengajarkan pentingnya komunikasi yang jelas dalam kepemimpinan dan bagaimana kesetiaan tanpa pemahaman yang tepat dapat berujung pada tragedi. 


Tri Wikrama Ranggawarsita

(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 5 oleh Prof. Apollo)
(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 5 oleh Prof. Apollo)

          Tri Wikrama Ranggawarsita merupakan konsep yang menguraikan perjalanan waktu dalam tiga dimensi, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan. Konsep ini berkaitan erat dengan hukum sebab-akibat (karma) serta refleksi kepemimpinan yang mencakup kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan. Gagasan ini mengandung makna filosofis mendalam yang tidak hanya membahas waktu sebagai aspek kronologis, tetapi juga sebagai dasar bagi pemahaman diri dan pengambilan keputusan (Haidigger, 1927/2011).

          Dalam filsafat, terutama dalam pemikiran Martin Heidegger dalam Being and Time, waktu bukan sekadar aliran kejadian, tetapi menjadi fondasi eksistensi manusia. Heidegger menekankan bahwa manusia harus menghadapi masa lalu dengan refleksi, menjalani masa kini dengan kesadaran, dan menatap masa depan dengan tanggung jawab (Heidegger, 1927/2011). Ajaran Ranggawarsita dalam Tri Wikrama memberikan gambaran tentang bagaimana manusia dapat mengevaluasi dirinya dalam lintasan waktu.

Apa Itu Tri Wikrama Ranggawarsita?

          Tri Wikrama berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "tiga perjalanan besar." Dalam konteks pemikiran Ranggawarsita, perjalanan tersebut mencerminkan tahapan perkembangan manusia yang dipengaruhi oleh karma dan evaluasi diri (Magnis-Suseno, 2016). Konsep ini juga mengacu pada kepemimpinan yang berorientasi pada pengalaman, kesadaran, dan visi ke depan (Widodo, 2020).

  • Masa lalu menjadi fondasi pengalaman dan pembelajaran.
  • Masa kini merupakan realitas yang harus dihadapi dengan keberanian.
  • Masa depan menjadi harapan yang dapat diwujudkan dengan kebijaksanaan.

          Konsep ini juga memiliki relevansi dalam kepemimpinan, di mana seorang pemimpin yang baik harus memiliki pemahaman historis, kesadaran terhadap kondisi saat ini, dan perencanaan untuk masa depan (Suryadi, 2021). Dalam konteks hukum karma, setiap tindakan di masa kini merupakan akibat dari masa lalu dan akan menentukan masa depan (Sedyawati, 2018).

Bagaimana Hubungan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan?

          Hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan berperan penting dalam pembentukan karakter dan kepemimpinan seseorang. Masa lalu merupakan fondasi yang membentuk pengalaman, nilai, serta prinsip yang dianut oleh individu. Menurut Heidegger (1927), dalam karyanya Being and Time, manusia selalu berada dalam konteks temporalitas, di mana pemahaman tentang diri sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan pengalaman masa lalu. Dengan melakukan refleksi terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi, seseorang dapat memahami kesalahan dan pencapaian yang menjadi pelajaran berharga dalam menentukan langkah di masa kini.

          Masa kini adalah titik di mana individu mengambil keputusan berdasarkan pemahaman terhadap masa lalu. Tindakan dan sikap yang diambil dalam kehidupan saat ini akan sangat menentukan bagaimana seseorang berkembang sebagai pemimpin. Dalam konsep Tri Wikrama Rangga Warsita, kepemimpinan ideal didasarkan pada tiga prinsip utama: kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan. Ketiga elemen ini diperlukan untuk menghadapi tantangan, memimpin dengan integritas, dan menentukan arah masa depan yang lebih baik (Rangga Warsita, 1853).

          Sementara itu, masa depan adalah hasil dari keputusan dan tindakan yang dilakukan di masa kini. Prinsip hukum sebab-akibat atau karma berperan dalam membentuk konsekuensi yang akan dihadapi. Konsep ini selaras dengan pandangan filsafat timur, yang menekankan bahwa setiap tindakan memiliki akibat yang tidak terhindarkan (Karma Yoga, Bhagavad Gita, 4:17). Oleh karena itu, pemimpin yang bijaksana akan selalu mengevaluasi diri, belajar dari pengalaman masa lalu, serta bertindak dengan penuh tanggung jawab di masa kini agar dapat menciptakan masa depan yang lebih baik.

          Dengan demikian, masa lalu, masa kini, dan masa depan saling terkait dalam proses pembentukan kepemimpinan seseorang. Kesadaran akan hubungan ini dapat membantu seseorang untuk menjadi pemimpin yang lebih reflektif, adaptif, dan bijaksana dalam menghadapi perubahan serta tantangan kehidupan.

Mengapa Tri Wikrama Ranggawarsita Penting?

  • Tri Wikrama sebagai instrumen evaluasi diri, guna menyadarkan individu untuk belajar dari masa lalu serta memahami bahwa kesalahan dan keberhasilan merupakan bagian dari perjalanan hidup (Wahyono, 2019).
  • Sebagai pedoman kepemimpinan. Seorang pemimpin harus memiliki refleksi historis, berani dalam mengambil keputusan, dan kebijaksanaan untuk merancang masa depan (Sutanto, 2020).
  • Sebagai prinsip dalam hukum karma, karena setiap tindakan memiliki konsekuensi. Keputusan yang diambil hari ini akan berpengaruh pada masa depan (Santoso, 2022).

Serat Kalatidha

          Serat Kalatidha adalah salah satu karya sastra penting dari Ranggawarsita, seorang pujangga besar dalam kesusastraan Jawa. Karya ini menggambarkan kondisi zaman yang penuh dengan ketidakpastian dan kesulitan, yang sering disebut sebagai "jaman edan" atau zaman gila. Salah satu bait yang terkenal dalam Serat Kalatidha adalah bait ke-7, yang mengandung pesan mendalam tentang dilema manusia dalam menghadapi perubahan zaman.

(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 6 oleh Prof. Apollo)
(Sumber: Modul 08 Leadership - Ratu Adil versi Ranggawarsita Hal. 6 oleh Prof. Apollo)

Bait ke-7 Serat Kalatidha berbentuk tembang Sinom dan berbunyi sebagai berikut:

Amenangi jaman edan

Ewuh aya ing pambudi,

Milu edan nora tahan,

Yen tan milu anglakoni,

Boya kaduman melik,

Kaliren wekasanipun,

Ndilalah karsa Allah,

Begja-begjaning lali,

Luwih begja kang eling lawan waspada.

Bila diterjemahkan, bait tersebut berbunyi sebagai berikut:

Hidup di zaman gila,

Serba sulit dan repot dalam bertindak.

Ikut gila tidak tahan,

Kalau tidak ikut melakukan,

Tidak kebagian pendapatan,

Kelaparan akhirnya.

Namun sudah menjadi kehendak Allah,

Sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri,

Masih lebih bahagia yang ingat dan waspada.

          Secara harfiah, bait ini menggambarkan kondisi zaman yang kacau, di mana orang-orang merasa sulit untuk bertindak dengan bijak. Dalam kondisi ini, seseorang dihadapkan pada pilihan sulit: ikut dalam "kegilaan" zaman agar tidak tertinggal atau tetap mempertahankan kesadaran dan kewaspadaan meskipun berisiko menderita. Pada akhirnya, Ranggawarsita menekankan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada mereka yang larut dalam kegilaan, melainkan pada mereka yang tetap sadar dan waspada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun