"Baik, tunggu aku besok" balasku.
Aku mencoba meng-iya-kan tawarannya, siapa tahu dia bisa menjadi salah satu obat penenang dikala pikiran tak lagi waras. Tanda dua centang biru yang ia berikan padaku, rasanya menjadikanku semakin berpikir dan bertanya.Â
"Apakah balasanku yang ku tulis sebosan itu untuknya? Atau dia sudah cukup dengan balasan itu? Atau dia memang sudah tak ingin membalas kembali?"
Ah sial. Kenapa aku malah memikirkan hal sepele disaat pikiran sedang aneh. Aku merebahkan badanku. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya seakan berada lingkaran kenyamanan. Kupandangi langit-langit kamarku. Ku raih ponsel ku kembali, ku buka galeri yang sedari tadi telah menggodaku.Â
Satu per-satu foto yang muncul dalam galeri, memunculkan kisah yang berbeda. Membuatku emosiku semakin membuncah. Mengapa orang-orang bisa kuat pura-pura bahagia? Atau, mengapa orang-orang tak bisa kuat untuk menyembunyikan kesedihannya? Lantas mengapa aku selalu dibingungkan dengan keduanya? Kapan aku bisa kuat seperti mereka agar bisa terlihat bahagia, sebab aku memang tak bisa menyembunyikan kesedihan.Â
Sebentar, mataku tertuju dengan foto-foto orang terkasih dalam hidupku. Seketika, mereka secara tidak langsung memberikan sinyal untuk bangkit. Bangkit dari segala ketidakwarasan. Bangkit dari segala keterpurukan. Bangkit dari segala kegelisahan.Â
Tiba-tiba pesan masuk dari dia kembali.Â
"Tidur. Malam ini kamu perlu istirahat untuk menyambut hari esok. Pulihkan laramu itu, bangkitlah."Â
Baik. Cukup sampai disini, malam yang lelah dan lara. Aku harus tidur, agar besok dapat menyambut matahari tanpa kegelisahan.