Pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat, berbanding lurus dengan peningkatan akan kebutuhan pangan di Indonesia. Namun sayangnya, peningkatan kebutuhan pangan tersebut justru dibarengi dengan penurunan produktivitas lahan pertanian di Indonesia yang diakibatkan oleh penggunaan pupuk yang tidak efisien di kalangan petani Indnesia. Salah satu teknologi yang mampu mengatasi permasalahan degradasi lahan pertanian di Indonesia adalah dengan penggunaan nanofertilizer. Nanofertilizer adalah pupuk berukuran nano atau 10-9 m yang memungkinkan penyerapan lebih besar kedalam tanah sehingga hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, menghindari kontak dengan air, tanah dan udara serta ekonomis. Namun sayangnya, mesin produksi nanofertilizer yang ada di Indonesia masih tidak efektif karena membutuhkan biaya yang tinggi, waktu proses yang lama serta proses produksi yang sulit. Hal tersebut kemudian melatarbelakangi lima mahasiswa Keteknikan Pertanian Universitas Brawijaya yaitu Agung Heru, Aginta Friska, Reinhardt Alexandro, Desak Putu dan Widyo Bayu dibawah bimbingan Yusron Sugiarto, STP. MP. MSc dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) untuk mengembangkan mesin produksi nanofertilizer yang efektif dan efisien berbasis ultrasound.
Mesin produksi nanofertilizer yang diberi nama MORFEUS ini merupakan mesin produksi nanofertilizer berbasis ultrasound yang dapat menghasilkan pupuk dengan ukuran 30-60 nm dalam waktu 30 menit sehingga efektif, efisien dan ekonomis. “Efektif dan efisien karena waktu produksi yang cepat, dapat menghasilkan pupuk nano dengan ukuran seragam, serta prosesnya yang mudah dilakukan. Sementara ekonomis karena tidak memerlukan banyak energy selama proses pengolahan,” tutur Agung Heru selaku ketua tim PKM ini.
Dalam pembuatan nanofertilizer, MORFEUS memanfaatkan efek kavitasi dari gelombang ultrasound yang akan timbul apabila mengenai media cair. Efek kavitasi pada gelombang ultrasound ini akan menyebabkan benturan antar partikel dalam sampel pupuk yang pada akhirnya akan memecah ukuran dari partikel tersebut dan menghasilan pupuk berukuran nano.
Lebih lanjut, Agung Heru mengatakan bahwa mesin produksi ini masih perlu penyempurnaan dan pengembangan agar dapat menghasilkan nanofertilizer yang lebih efektif dan efisien yang tentu saja tidak lepas dari peran pemerintah, akademisi, serta masyarakat umum. “Saya berharap ada dukungan dan perhatian pihak terkait pada pengembangan mesin produksi nanofertilizer ini sehingga dapat mengurangi berbagai permasalahan yang diakibatkan tidak efisiensinya penggunaan pupuk di Indonesia,” ucap Agung Heru di akhir sesi wawancara.