Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bayar Berjuta-juta demi Jadi Pekerja Bergaji UMK

4 Januari 2021   07:53 Diperbarui: 5 Januari 2021   09:02 1467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi praktik suap. (sumber: SHUTTERSTOCK/ATSTOCK PRODUCTIONS via kompas.com)

Bagi sebagian orang mencari pekerjaan itu bisa dibilang susah. Salah satunya mungkin karena keterbatasan jumlah pekerjaan sehingga tidak mampu mengakomodasi jumlah tenaga kerja yang secara proporsi umumnya memang lebih besar. 

Namun disamping itu ternyata kelangkaan pekerjaan justru disebabkan oleh sebuah sistem yang terdesain sedemikian rupa sehingga para oknum tertentu bisa mengeruk keuntungan besar dari orang lain.

Sementara itu, banyak dari orang lain tersebut yang gagal memperoleh pekerjaan dan tersingkirkan secara tidak adil hanya karena mereka tidak mampu "membeli" pekerjaan tersebut sesuai dengan tarif yang diberlakukan oleh para calo kerja.

Kejadidn semacam ini sebenarnya bisa dibilang sebagai rahasia umum mengingat praktiknya sudah cukup banyak terjadi di berbagai korporasi bisnis. 

Meskipun tidak sedikit perusahaan yang memampang tulisan berisi pernyataan bahwa selama proses rekrutmen karyawan mereka tidak mematok tarif atau biaya tertentu namun kenyataannya masih ada saja beberapa pihak yang bermain dengan memberikan iming-iming posisi kerja asalkan bersedia membayar uang dengan nominal tertentu. 

Seiring dengan keinginan untuk memiliki penghasilan rutin bulanan maka tidak sedikit dari para pencari kerja yang rela menjual barang berharga miliknya. 

Mereka rela menggadai sawah satu-satunya atau sejumlah barang berharga yang penting bisa menutupi biaya awal masuk kerja. 

Padahal pekerjaan yang mereka perjuangkan itu hanyalah sebatas pekerja kontrak dengan upah UMK saja. Sedangkan uang yang harus dibayarkan jumlahnya tidak jauh berbeda dengan gaji pertama yang mereka terima kelak.

Bukankah masih bisa dibilang untung meskipun seorang pekerja harus membayar berjuta-juta asalkan ia terus menerima gaji selama berbulan-bulan ke depan? Sepintas memang iya. 

Tapi bukankah semestinya mencari pekerjaan itu cukup bermodalkan keahlian, keterampilan, semangat, tekad yang kuat, disiplin, serta beberapa atribut pendukung produktivitas kerja yang lain? 

Maksud dari seseorang ingin bekerja adalah untuk memperoleh sejumlah uang, bukan mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan pekerjaan. 

Sayangnya, hal ini belakangan sepertinya dimanfaatkan betul oleh sekelompok oknum tidak bertanggung jawab untuk menari-nari diatas penderitaan orang lain. 

Mereka ini dengan mudahnya memasang tarif selangit kepada orang-orang yang menginginkan pekerjaan. Sedangkan jika ditilik lebih jauh sebenarnya besaran tarif itu tidak masuk ke kantong korporasi yang hendak merekrut tenaga kerja tertentu. 

Besaran uang yang dipatok dalam tarif tersebut hanya akan mengalir pada segelintir orang yang terkait dengan biroktasi perekrutan tenaga kerja. 

Bisa jadi ada orang dalam perusahaan yang terlibat, bisa jadi ada pihak luar yang menstatuskan dirinya sebagai calo dengan melobi orang-orang dalam tadi, dan lain sebagainya. Para pencari kerja hanya memahami bahwa kalau mereka ingin mendapatkan pekerjaan maka mereka harus membayar sejumlah uang tertentu.

"Pekerjaan itu diperoleh melalui seleksi yang pantas tanpa menjadikan besaran tarif sebagai elemen pertimbangan untuk memilih calon pekerja."

Salah seorang rekan pernah bercerita terkait betapa mengguritanya permainan bisnis di bidang rekrutmen tenaga kerja ini. "Pungutan" yang dibebankan kepada seorang pencari kerja bisa dinikmati oleh sederetan calo yang bermain dalam birokrasi tersebut. 

Dan umumnya semakin besar potensi gaji yang diterima saat seseorang bisa diterima kerja di suatu korporasi tertentu maka tarif untuk masuk kesana cenderung semakin besar. 

Misalnya sebuah perusahaan yang berpotensi memberikan banyak jam kerja lembur kepada pekerjanya bisa-bisa para calo memasang tarif hingga puluhan juta. 

Padahal uang sebanyak itu mungkin lebih baik dipakai sebagai modal usaha ketimbang untuk membayar biaya masuk kerja yang sejatinya tetap saja tidak memberikan garansi seseorang akan bertahan lama disana. 

Coba bayangkan ketika seorang pencari kerja membayar uang dalam jumlah besar sedangkan saat memasuki pekerjaan tersebut justru ia tidak betah. Bisa-bisa uang yang ia "tumbalkan" diawal hanya akan menguap begitu saja.

Lebih parah lagi adalah ketika suatu proses rekrutmen kerja itu memberlakukan sejumlah tes masuk kepada calon pekerjanya. Sedangkan ketika memasuki tahap akhir proses rekrutmen justru uang lagi yang berbicara. 

Seorang kandidat yang secara kualifikasi lebih pantas diterima kerja bisa saja tersisih oleh orang lain yang bersedia membayar sejumlah uang sebagai pelicin. 

Mereka yang memiliki kelayakan sebagai calon pekerja berkualifikasi pasti akan merasakan kekecewaan besar terhadap hal ini. Dan apakah situasi semacam ini layak untuk terus dipertahankan?

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun