Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kartu Sehat Perjalanan: Nggak Punya Uang, Nggak Boleh Jalan

3 Juli 2020   15:57 Diperbarui: 3 Juli 2020   15:55 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tes covid-19 | Sumber gambar : republika.co.id / Antara

Sejak beberapa tahun yang lalu saya selalu menghindari mengirim aplikasi kerja di perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bukan tidak mau, bukan pula tidak mampu bersaing, akan tetapi lebih karena adanya satu persyaratan yang menurut saya cukup "memberatkan" untuk dipenuhi. 

Saya tidak akan menjelaskan secara gamblang persyaratan apa itu. Namun gambarannya adalah terkait pengurusan birokrasi berkas-berkas yang mengharuskan saya mengunjungi beberapa institusi untuk memperolehnya. Dalam situasi wajar, semua pengurusan berkas itu seharusnya tidak perlu ribet, cepat, dan gratis. 

Tapi pada kenyataannya seringkali berbelit-belit dan menguras isi kantong. Waktunya pun bisa berhari-hari. Padahal saat itu waktu saya untuk mengurus berkas tersebut sangat terbatas, terlebih finansial pendukungnya juga pas-pasan. Demi efisiensi, akhirnya niatan untuk mengikuti seleksi kerja di BUMN harus dilupakan. Sedikit iri juga sebenarnya mendengar cerita beberapa teman yang kelihatan mudah mengurus semua berkas persyaratannya.

Sampai saat ini, situasi terkait urusan penyiapan berkas yang ada kaitannya dengan beberapa instansi tertentu sebanyak mungkin saya hindari. Tapi pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia beberapa waktu terakhir menggugah kembali memori saya dimasa lalu. Keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto baru-baru ini terkait penerbitan protokol kesehatan yang salah satunya yaitu mewajibkan pelaku perjalanan membawa Kartu Sehat. 

Kartu ini bisa diperoleh setelah seseorang melakukan tes COVID-19 melalui PCR tes ataupun rapid tes. Dengan masa berlaku 14 hari terhitung sejak surat keterangan sehat diterbitkan. Masalah utamanya bukan pada keharusan membawa atau memiliki surat keterangan bebas COVID-19 tersebut, melainkan terkait cara pengadaan surat keterangan tersebutlah masalahnya. 

PCR tes atau rapid tes bukanlah tes kesehatan gratis, meskipun seharusnya demikian. Lagi-lagi kita harus mengeluarkan sejumlah biaya hanya untuk bisa melakukan suatu perjalanan ke tempat lain. Bayar lagi. Biaya lagi. Ditengah situasi sulit seperti sekarang masih saja rakyat dibebani.

Pandemi COVID-19 seharusnya menjadi momen dimana negara memfasilitiasi betul setiap kebutuhan warganya. Bukan justru menarik tarif atas setiap aktivitas. Apabila dikatakan bahwa biaya tes COVID-19 adalah untuk lembaga kesehatan, tetap saja hal itu memiliki keterkaitan dengan pemerintah. 

Kalau memang ada itikad baik kepada rakyat, seharusnya semua tes bisa dilakukan gratis kapanpun hal itu dibutuhkan. Jangan semakin menambah beban rakyat saja. Kalau tidak berkenan melakukan hal itu, sebaiknya tidak perlu ada syarat kartu sehat bagi seseorang hendak melakukan perjalanan.

COVID-19 adalah musibah dan bencana. Bukan "aji mumpung" untuk menenggak keuntungan "bisnis kesehatan" dari publik yang sebenarnya justru terancam nyawanya. Jangankan untuk membayar biaya pengadaan surat keterangan bebas COVID-19 atau kartu sehat tersebut, untuk melakukan perjalanannya saja masyarakat sudah terbebani dengan kenaikan tarif yang belakangan marak diberlakukan. 

Beberapa waktu lalu istri saya melakukan perjalanan antar kota yang harus membayar dua kali lipat dari harga sebelum pandemi terjadi. Padahal harga BBM juga masih segitu-segitu saja. 

Alasan penyedia transportasi adalah jumlah penumpang berkurang jauh, sehingga untuk menutupi beban operasional maka dibebankan pada penumpang melalui kenaikan tarif. Apakah hal ini sudah diketahui pejabat publik negeri ini? Jangan-jangan mereka tutup mata. Malah menambahi beban dengan keharusan menyertakan kartu sehat yang pengadaannya berbayar itu.

 Ini bercanda atau bagaimana? Kok sepertinya masyarakat dalam masa pandemi ini seperti menjadi obyek sapi perah kekuasaan. Iuran BPJS Kesehatan dinaikkan, bensin premium dan pertalite mau dihapuskan, dan ditambah lagi harus membayar untuk pengadaan surat bebas virus. Logika apa yang dipakai pengelola negeri ini? Tidak adakah simpati bagi rakyat di negeri ini?

Jangan-jangan ada praktik mafia kesehatan yang mulai melanda bangsa kita. Korbannya bukan hanya masyarakat umum, bisa jadi negara juga turut dirugikan. Anggaran penanggulangan COVID-19 bukan tidak mungkin banyak terserap ke lembaga kesehatan atau "korporasi" kesehatan yang pastinya menerima asupan dana negara untuk perawatan korban COVID-19. 

Jika menilik pada salah satu teori konspirasi, bukan tidak mungkin ada sebagian diantara korban yang sengaja diada-adakan demi bisa menerima gelontoran dana pemerintah. Bisnis yang menyangkut nyawa manusia bisa sangat menguntungkan. Tapi semoga saja saya salah.

Saya hanya berharap jikalau memang ada kewajiban untuk membawa kartu sehat dalam setiap melakukan perjalanan maka untuk proses pengadaannya haruslah gratis. PCR tes gatis. Rapid tes gratis. Apabila masih harus membayar itu sama artinya negara sedang "memalak" rakyatnya. Berapa besar jumlah palakannya? 

Tergantung seberapa sering seseorang melakukan perjalanan. Jika setiap dua minggu sekali saja harus melakukan perjalanan, berapa kali tes bebas virus dilakukan? Berapa besaran biayanya? Saya kok ragu ya bahwa tes untuk pengadaan surat keterangan sehat itu akan digratiskan. Atau sebaiknya kita menempuh cara yang sudah lama saya praktekkan, lebih baik tidak melakukan perjalanan samasekali. Sehingga tidak perlu menyiapkan kartu sehat. Tidak perlu bayar membayar lagi. Tapi apakah memang harus seperti itu?

Salam hangat,

Agil S Habib 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun