Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker & Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mas Nadiem dan Gagasan Revolusi Mental yang "Mati Suri"

2 Desember 2019   08:44 Diperbarui: 2 Desember 2019   09:28 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mas Nadiem saat berpidato dalam peringatan Hari Guru Nasional | Sumber gambar : news.detik.com

Apa kabar revolusi mental? Inilah pertanyaan yang seringkali dilontarkan beberapa kalangan untuk "menyindir" Presiden Joko Widodo (Jokowi) seiring wacana besar yang pernah beliau lontarkan menjelang periode kepemimpinan Presiden Jokowi yang pertama beberapa tahun lalu.

Satu periode masa jabatan presiden telah berlalu dan sepertinya gagasan itu hanya sebatas menjadi retorika politis tanpa memberikan hasil yang layak untuk dibanggakan hingga saat ini.

Revolusi mental dicap banyak pihak sebagai suatu kegagalan karena hanya sebatas menjadi kata-kata pemanis dalam janji membangun karakter anak bangsa yang berkualitas.

Pada masa pemerintahan pertama Presiden Jokowi lima tahun kebelakang, revolusi mental harus diakui memang tidak terlihat tajinya samasekali. Revolusi mental hanya garang dalam ucapan tapi pecundang dalam kenyataan.

Sebagaimana kita bersama ketahui, fokus pembangunan era pertama Presiden Jokowi justru lebih menyasar pada pembangunan infrastruktur.

Padahal slogan besar yang diusung kala itu adalah membangun karakter bangsa, memperbaiki kualitas mental generasi bangsa. Sedikit aneh memang, atau kalau tidak bisa dibilang sebuah kontradiksi.

Sedangkan di era pemerintahan yang kedua ini, Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan akan lebih berfokus pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Namun jargon revolusi mental sepertinya tidak lagi menarik untuk diumbar ke muka publik. Apakah ini artinya pengembangan SDM akan dijalankan dengan penuh rasa pesimisme?

Kalau boleh dibilang, gagasan revolusi mental pada saat ini sedang "mati suri". Gagasan "berat" itu memang cukup berat untuk diwujudkan, terlebih dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga aspek karakter adalah aspek terpenting dan terdalam pada diri setiap orang. Proses mengasahnya bisa butuh waktu bertahun-tahun lamanya dan dalam seluruh aspek pergaulan.

Membangun karakter tidak akan terlaksana secara maksimal apabila dilakukan secara parsial dan terlebih setengah hati. Sinkronisasi visi besar menciptakan SDM unggul dan berkarakter hebat adalah cerminan utama dari implementasi nyata revolusi mental.

Sebagian dari kita sampai saat ini mungkin masih bingung dengan apa sebenarnya revolusi mental itu. Kontribusi apa yang mampu diberikannya untuk perubahan besar di negeri ini.

Jika mencari definisinya, secara garis besar hal itu akan dengan mudah ditemui kala kita mengetikkan dua kata itu pada search engine google.

Akan tetapi apakah kita benar-benar menangkap titik awal pelaksanaan dari implementasi gagasan besar itu? Sepertinya hal inilah yang selama lima tahun terakhir ini "gagal" dipahami oleh tim kerja Presiden Jokowi. Mereka tahu apa yang dinginkan terkait revolusi mental itu, namun mereka bingung harus memulainya dari mana.

Kebingungan itu pada akhirnya membuat gagasan besar revolusi mental terbangkalai sekian lama hingga kemudian menjadi bahan pergunjingan dan olok-olokan sebagian orang. Sedikit demi sedikit gagasan besar revolusi mental semakin meredup dan dianggap tidak memiliki "nilai jual" lagi untuk diperjuangkan pihak-pihak penggagasnya.

Revolusi Mental (Bukan) di Tangan Presiden Jokowi dan Mas Nadiem

Pada periode kedua era pemerintahan Presiden Jokowi ini bahkan presiden tidak lagi menggebu-gebu sebagaimana awal kepemimpinan di periode pertamanya dulu. Revolusi mental tidak lagi menjadi tagline pada pidato-pidato kenegaraan. Presiden Jokowi lebih memilih "diksi" Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Terkesan lebih "rendah hati" atau justru cenderung "rendah diri".

Tetapi apapun itu sebenarnya kita semua termasuk presiden mengakui bahwa membangun karakter bangsa atau membangun SDM adalah sesuatu yang penting dan tidak boleh diabaikan. Fokus pemerintah membangun infrastruktur meskipun memiliki slogan revolusi mental mungkin lebih dilatarbelakangi oleh dorongan kepentingan politis dibandingkan master plan pembangunan sebuah bangsa.

Karena jika kita mengacu pada pesan founding father dalam lagu Indonesia Raya, maka pembangunan itu dimulai dari jiwa atau karakter dan baru kemudian beranjak pada" fisik sebuah bangsa. "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya."

Penggalan lirik pada lagu kebangsaan kita sudah menyiratkan pesan itu. Jiwa dulu, karakter dulu, atau manusianya dulu yang dibangun baru kemudian beranjak pada badan atau infrastruktur. Akan tetapi yang kita lihat saat ini adalah mengedepankan aspek fisik atau infrastruktur baru berlanjut ke aspek manusia. Apakah ini tidak berarti konsep pembangunan yang dilakukan berlangsung secara terbalik?

Secara teori, Presiden Jokowi mungkin harus menitikberatkan pada pembangunan SDM pada periode pertama pemerintahannya. Baru kemudian melanjutkan pada pengembangan aspek infrastruktur.

Hanya saja dalam implementasinya dua konsep ini harus berjalan berbarengan karena seringkali pembangunan SDM unggul tidak bisa terealisasi tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, dan demikian juga sebaliknya. Membangun karakter bangsa butuh perjuangan berat dan tidak bisa seketika terjadi.

Hal ini membutuhkan dukungan luar biasa dari sosok-sosok yang berfikiran kedepan, memiliki visi jangka panjang, dan memiliki kerangka berfikir yang holistis. Tanda --tanda inilah yang sepertinya terdapat didalam diri Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 2019 -- 2024. Eks bos Gojek yang ditunjuk Presiden Jokowi untuk menuntaskan gagasan besar revolusi mental yang kini tengah mati suri. Mungkin bapak presiden tidak ingin disebut pandai menjual kata-kata sehingga tidak lagi mengumbar kata-kata revolusi mental. Beliau lebih memilih sosok muda yang berpandangan kedepan untuk mengurusi salah satu aspek vital yang menyangkut pembangunan dan pengembangan ranah SDM, yaitu pendidikan dan kebudayaan.

Sepertinya Presiden Jokowi masih menginginkan agar gagasan revolusi mental itu benar-benar bisa dijalankan. Sejauh ini, jika melihat beberapa pandangan dan isi pikiran dari Mas Madiem, maka ada secercah harapan bahwa revolusi mental itu bermula dari sini.

Pidato sederhana namun fenomenal yang disampaikan Mas Nadiem dalam peringatan Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu dan juga pidatonya ketika menghadiri peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2019 lalu memberikan gambaran sekilas tentang seperti apa pendidikan dan kebudayaan bangsa ini dikelola untuk beberapa waktu kedepan.

Pendidikan dan kebudayaan memiliki peranan luar biasa penting dalam membangun karakter bangsa yang berkualitas. Sebuah karakter yang bahkan mampu merevolusi mentalitas bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik dari sebelumnya.

Pertanyaannya, semudah itukah? Tentu tidak. Oleh karenanya, Mas Nadiem mewanti-wanti semua pihak untuk bersabar sembari tetap bekerja keras dan bekerja sama satu sama lain guna mewujudkan mimpi besar itu.

Menilik dari pesan isi pidato Mas Nadiem saat peringatan Hari Guru, kita tahu bahwa peranan guru sangatlah vital dalam menggerakkan roda pendidikan sehingga bisa berjalan sesuai fitrahnya. Ungkapan "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" sepertinya dipahami betul oleh Mas Nadiem terkait nilai urgensinya.

Sehingga peran guru harus direformasi, harus dimerdekakan. Demikian pesan penting Mandikbud kita. Secara pribadi saya juga sepakat dengan pandangan dari Mas Mendikbud Nadiem Makarim tentang  para pemuda yang mesti berani terus melangkah kedepan. Baginya, kegagalan terbesar adalah ketika kita hanya berjalan ditempat.

Terus melangkah memang penuh tantangan, tetapi hal itu akan membuat kita semakin dewasa. Revolusi mental adalah tentang keberanian bergerak dan menembus batasan ketidakberdayaan. Guru-guru kita mampu berbuat lebih dari sekadar menyampaikan kurikulum, mereka memiliki karakter hebat yang seharusnya bisa ditularkan kepada para anak didiknya. Demikian juga semua peserta didik harus terus bergerak memajukan dirinya sendiri.

Mas Nadiem mungkin memiliki peranan penting memberikan garis besar pembangunan di sektor pendidikan yang pada akhirnya berujung pada pembangunan karakter bangsa.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa revolusi mental itu sebenarnya berada di tangan dan diri setiap warga negara. Kita mesti sadar bahwa kita harus terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Seleksi alam itu diakui atau tidak selalu berlaku bagi setiap orang.

Hal itu akan membedakan sosok-sosok yang hebat dan sosok-sosok yang gagal. Pertanyaannya, kita mau menjadi golongan yang mana? Barangkali Presdien Jokowi memang layak dikritik dengan gagasan revolusi mentalnya yang masih jauh panggang dari api.

Mungkin Mas Nadiem pun juga masih perlu banyak dihujani pertanyaan terkait apa dan bagaimana caranya mewujudkan harapan Presiden di sektor pendidikan. Akan tetapi satu hal yang mesti kita akui bersama bahwa kita harus terus tumbuh dan mengevolusi diri kita agar mampu eksis di era saat ini.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1] ; [2] ; [3] ; [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun