Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Para Loyalis Jokowi yang Tersungkur, Patutkah Mereka Dipersalahkan?

17 September 2019   07:24 Diperbarui: 17 September 2019   10:34 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Jokowi presiden terpilih, tetapi tetap harus dikoreksi | Sumber gambar : www.thejakartapost.com

Loyalis pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama beberapa waktu terakhir ini seakan mendapatkan "tamparan" dari sang pemimpin terpilih. 

Setelah sebelumnya polemik kenaikan iuran BPJS menghangat di masyarakat, kemudian ada rencana pemindahan ibukota, revisi undang-undang ketenagakerjaan, dan revisi UU KPK yang didukung oleh presiden meski dianggap memperlemah komisi anti rasuah hal itu semakin memperbanyak munculnya opini sinis terkait sikap sang presiden. 

Sudah bukan rahasia lagi apabila setiap gerak gerik presiden akan senantiasa menjadi sorotan publik, terlebih oleh mereka yang berada pada kubu oposisi. Sedikit saja langkah kontroversial ditempuh, maka hal itu langsung berujung pada kehebohan publik. 

Sampai-sampai salah satu media kritis tanah air, Tempo, mengeluarkan sebuah edisi dengan sampul kontroversial berwujud "Pinokio" dibalik sosok sang presiden. Sontak saja hal itu memantik kontroversi di tengah-tengah masyarakat.

Barangkali apa yang dilakukan oleh Tempo didasari oleh kekecewaan terhadap pelemahan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini. 

Sang presiden dianggap telah berbohong karena janjinya yang ingin memperkuat serta mendukung penuh KPK justru dijalani dengan sebuah kebijakan yang kontraproduktif dengan hal itu. 

Menyetujui revisi undang-undang KPK yang dinilai melemahkan kewenangan institusi itu. Sikap dari "kaum" oposisi malah cenderung lebih ekstrem dengan mempersalahkan masyarakat yang telah menjatuhkan pilihannya kepada Pak Jokowi sebagai presiden. 

Juru bicara para oposisi seolah menyungkurkan para pemilih Jokowi seiring kebijakan tidak populis yang diambil sang presiden. Seakan-akan para oposisi ini ingin mengatakan, "Rasakan akibatnya sekarang. 

Ini hasilnya setelah kalian memilih Jokowi sebagai presiden. Sukurin!". Namun patutkah "vonis" seperti itu dijatuhkan kepada publik yang memiliki harapan besar akan kemajuan bangsanya sendiri? Tepatkan penyungkuran itu dialamatkan kepada orang-orang yang sudah berkenan memberikan hak pilihnya? 

Sikap oposisi seperti ini adalah bentuk ketidakdewasaan mereka dalam membangun harmoni berbangsa. Semestinya bukan mempersalahkan, mereka justru harus bergerak mengambil langkah sesuai kewenangannya agar segenap warga negara ini tidak ada yang dirugikan atau disakiti.

Bagaimanapun juga Pak Jokowi adalah presiden kita saat ini, yang terpilih secara langsung dan sah secara konstitusi. Mengungkit-ungkit pilihan masa lalu dan mengaitkannya dengan masalah bangsa yang terjadi saat ini adalah tindakan bodoh yang tidak berujung pada perbaikan. 

Tidak ada tindakan produktif disini. Saat ini semua masyarakat di Indonesia tahu siapa pemimpinnya dan apa yang sedang dipertontonkan di hadapan publik oleh para penguasa itu. Sekarang ini masyarakat tengah berada dalam tahap menunggu realisasi janji para pemegang mandat. 

Jikalau memang ada beberapa hal yang sepertinya menyimpang dari janji, khususnya dari pemerintah terpilih, maka tugas utama dari oposisi adalah mengoreksi dan meluruskan kembali hal itu. Bukan malah melakukan penyalahan publik yang memilih Jokowi berikut tim pendukungnya. Itu namanya salah alamat.

Apapun yang dilakukan Pak Jokowi publik akan mencatat. Terlepas beliau melakukan kebijakan yang selaras dengan janji-janji semasa kampanye dulu atau sebaliknya. 

Semua akan tercatat dibenak para pemilih. Cukup bagi oposisi mengingatkan dan memperdengarkan kembali janji-janji pemerintah terpilih kepada masyarakatnya. 

Rakyat pemilih bisa saja salah, tapi bukan berarti hal itu menjadi pembenaran para oposisi untuk mempersalahkannya. Kita semua akan melihat sejauh apa kepemimpinan Pak Jokowi ini akan berjalan kedepan. Kesejahteraan yang beliau janjikan masihkah akan terwujud? Pemberantasan korupsi masihkah akan berjalan? 

Beliau masih baru memulai periode keduanya sebagai presiden. Tugas kita bersama adalah mengawal dan memastikan pemerintahan berjalan dengan baik.

Oposisi yang tidak berkenan dengan kebijakan Jokowi tidak perlu mempersalahkan masyarakat pemilih Jokowi atas hal ini. Karena jikalau mereka menganggap bahwa yang dilakukan presiden adalah salah, maka mereka sendirilah yang akan "turun tangan" dan meminta langsung pertanggungjawaban sang presiden. 

Karena pada dasarnya masyarakat menginginkan pemimpin yang mampu membawa Indonesia kearah yang lebih baik, hal itu bukan semata tentang Jokowi atau Prabowo, akan tetapi lebih kepada sosok pemimpin yang mampu memegang janji. 

Seandainya Prabowo yang terpilih, ketika kebijakan beliau bermasalah maka masyarakat pun akan menuntutnya turun. Demikian halnya dengan Jokowi dengan kebijakannya. 

Barangkali kita semua harus melihat dulu seperti apa efek kepemimpinan pada 100 hari periode kedua presiden Jokowi berkuasa. Selanjutnya pada satu tahun pertama, tahun kedua, dan seterusnya. 

Publik tentu mengaharapkan adanya perbaikan dari waktu ke waktu. Tanpa menunggu tahun 2024 sekalipun, jikalau memang kepemimpinan yang terjadi dianggap mengacaukan kondisi bangsa maka rakyat akan bergerak menuntut perubahan. Bukan hanya penguasa yang bisa digoyahkan oleh rakyat ini, oposisi yang tidak menjalankan tugasnya secara bijak pun mampu untuk diturunkan.

Sebaiknya mereka yang berada pada kubu oposisi lebih fokus terhadap tugasnya menjadi fungsi kontrol terhadap pemerintah yang berkuasa. Masyarakat akan bersama kalian apabila hal itu memang layak dilakukan. 

Namun apabila oposisi hanya bisa mempersalahkan rakyat pemilih atas ketidakberesan kondisi bangsa, maka itu artinya fungsi oposisi tidak ada gunanya lagi. Jika demikian yang terjadi, maka perlukah oposisi ada?

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun