Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Duplikasi Logika, Transformasi dari Otomasi ke AI

6 September 2019   09:02 Diperbarui: 6 September 2019   09:50 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peradaban Logika -- Peradaban Digital | Ilustrasi gambar: digitalready.co

Semenjak peradaban awal hingga sekarang, teknologi terus berkembang dari waktu ke waktu. Aspek-aspek mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit sekalipun hampir semuanya telah dijangkau oleh teknologi. 

Bahkan teknologipun sudah terklasifikasi dari yang sederhana sampai yang super canggih. Dari yang masih menggunakan teknologi manual hingga yang otomatis. Keinginan untuk membuat semuanya lebih mudah dibandingkan kondisi terdahulu meniscayakan hadirnya teknologi baru tersebut.

Dahulu sangat jamak ditemui proses-proses yang sepenuhnya dikendalikan secara manual oleh manusia. Sebagai contoh, kita mengisi air di kamar mandi dengan menimba air. Seiring lahirnya mesin pompa air, aktivitas itu bergeser dengan kita cukup menyalakan saklar pompa air yang terhubung ke jaringan listrik. 

Saat ini, kita bahkan tidak perlu samasekali menekan saklar untuk mengisi pasokan air, karena pompa air sudah terkoneksi secara otomatis pada sensor pembaca debit air. 

Apabila air didalam tampungan kurang dari standar pada sensor, maka secara otomatis mesin pompa air akan menyala. Apabila debit air sudah terisi sesuai standar yang ditentukan, maka dengan sendirinya pompa air itu akan mati.

Hal-hal semacam ini sudah menjangkau banyak aspek. Terutama dalam aktivitas produksi di sebuah industri manufaktur. Proses-proses yang awalnya membutuhkan campur tangan manusia menjadi cukup diambil alih oleh mesin yang bekerja secara otomatis. 

Mesin-mesin tersebut telah diatur sedemikian sehingga menjalankan fungsi kerja yang dulunya dilakukan oleh manusia. Mesin-mesin itu secara otomatis melakukan aktivitas satu dan yang lainnya sekan-akan ia memiliki logika kerjanya sendiri.

Menduplikasi Logika

Aktivitas-aktivitas yang rutin kita kerjakan dalam keseharian membuat kita memahami pola dari aktivitas tersebut. Manusia dengan otak yang dimilikinya akan senantiasa berupaya untuk mancari langkah yang lebih efisien dan efektif dari waktu ke waktu. 

Sama halnya ketika kita dulu mengisi air kamar mandi dengan menimba dari sumur atau menyalakan saklar pompa air, otak kita bekerja dan memikirkan bagaimana caranya agar aktivitas itu bisa lebih efisien dilakukan. Kita berfikir bagaimana caranya agar tanpa kita harus menimba atau bahkan tanpa menekan saklar sekalipun dengan sendirinya air kamar mandi akan terisi.

Maka lahirlah alat otomatis pompa air. Prinsip kerja alat ini sebenarnya hanyalah dengan menduplikasi nalar kita yang mengharapkan agar air terisi saat tempat penampungan air kosong, dan berhenti mengisi saat tempat penampungan air sudah penuh. 

Alat otomatis ini bekerja berdasarkan logika bahwa mesin pompa air harus menyala saat debit air berada dibawah ambang batas dan akan dengan sendirinya mati saat air sudah terisi mencapai batas atasnya atau saat tempat penampungan penuh.

Prinsip otomatisasi pada dasarnya bekerja sesuai logika manusia. Sebuah sistem didesain dengan fungsi "if". Jika A, maka B. Jika C, maka D. Begitu seterusnya. Kita tentu sudah tidak asing dengan sistem pertanian buka tutup seperti yang diterapkan di beberapa negara maju ataupun beberapa wilayah di Indonesia. 

Sebuah pertanian seperti tembakau misalnya, yang bisa dikatakan cukup sensitif terhadap kondisi cuaca. Jika ia terus-menerus diguyur hujan ada potensi dedaunannya banyak yang membusuk sehingga merugikan petani. Konsep berfikir sederhananya adalah pada saat-saat tertentu tanaman tembakau itu butuh ditutupi dari guyuran hujan. 

Namun menutup tanaman juga tidak bisa terus dilakukan karena kebutuhan tanaman atas pasokan sinar matahari. Akibatnya penutup pun harus dibuka kembali. Melakukan aktivitas tersebut secara manual sudah barang tentu menyulitkan petani, dan belum lagi para petani itu tidak selalu siap sedia selama 24 jam sehari untuk mengurus tanamannya. 

Oleh karena itu lahirlah sebuah sistem otomasi atap buka tutup yang memungkinkan tanaman tertutupi saat hujan dan tersinari matahari sepenuhnya saat cuaca cerah. 

Sensor yang membaca tetesan air hujan bekerja berdasarkan logika seorang petani yang berharap tanamannya terlindungi dari guyuran hujan tetapi bisa kembali tersinari matahari ketika cerah. Sistem otomasi ini menduplikasi nalar kita.

Era Baru Bernama "Artificial Intelligence"

Keberadaan otomasi sepertinya telah membuat banyak hal berjalan dengan lebih praktis dan efisien meski tidak dapat dipungkiri bahwa ada efek negatif yang dihasilkannya. Banyaknya pekerja pabrik yang tugasnya digantikan oleh mesin otomatis merupakan salah satu bukti efek negatif dari otomasi. 

Namun, seiring teknologi yang berkembang begitu cepat dari waktu ke waktu, manusia menginginkan agar mesin-mesin itu bisa berbuat lebih dari sebelumnya. Manusia tidak ingin mesin-mesin itu sekadar menjalankan fungsi logika sederhana dan tunggal seperti halnya mesin otomatis pada atap buka tutup pertanian atau pada pompa air otomatis.  

Manusia ingin agar mesin-mesin juga bisa berfikir menyerupai manusia dengan cakupan yang lebih luas dan lebih kompleks. Harapannya adalah mesin bisa menyerupai atau mendekati kecerdasan manusia. 

Sehingga lahirlah apa yang disebut dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Mesin bisa berfikir dan bernalar sebagaimana manusia pada umumnya.

Kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan miliuner cerdas Elon Musk, seorang pebisnis sukses bidang teknologi. Sosok yang disebut-sebut sebagai Tony Stark-nya dunia nyata ini adalah satu dari sekian orang yang gencar menggaungkan AI sebagai bagian dari dunia masa kini. Perusahaannya, Tesla Motor, memproduksi mobil listrik yang dilengkapi dengan sistem kecerdasan buatan sehingga memungkinkan mobil tersebut melaju di jalanan tanpa adanya pengemudi sekalipun. 

Sistem cerdas yang tertanam didalam mobil menjadikan mobil memiliki otaknya sendiri, memiliki pengemudinya sendiri. Sungguh luar biasa. Kehadiran AI pada dasarnya memang diharapkan mempermudah aktivitas kita, sekaligus mengefisienkan rutinitas sehari-hari kita. 

Memiliki mobil yang bisa melaju sendiri tanpa sopir membuat kita tidak perlu repot-repot menyewa driver atau menyupir sendiri. Cukup masuk ke dalam mobil, dan duduk dengan nyaman sembari menunggu sampai ke tempat tujuan.

AI telah sedemikian luas menjangkau aktivitas-aktivitas kita. Dengan semakin populernya penggunaan media sosial, AI pun seperti tidak mau ketinggalan untuk turut ambil bagian didalamnya. 

Jika kita pernah menonton film "Iron Man", maka disana ada sosok sistem cerdas bernama "Jarvis". Asisten dari Tony Stark sang Iron Man. Jarvis adalah potret atau gambaran dari sebuah kecerdasan buatan yang bekerja sebagai asisten manusia. Ia tidak sebatas berlogika, tapi juga melakukan analisa dan berfikir sebagaimana manusia pada umumnya. 

Hal inilah yang sudah mulai dimanfaatkan oleh para pengembang teknologi digital seperti facebook dan sejenisnya. Media sosial sudah dengan "mandiri" menyortir tentang apa dan bagaimana menghadirkan tayangan yang disenangi publik, dan menyortir beberapa diantaranya yang dianggap kurang layak. 

Mungkin kita sering tidak menyadari "kok bisa" akun youtube kita menampilkan tayangan-tayangan yang sebagian besar diantaranya kita senangi atau sedang digandrungi banyak orang. Atau mengapa ada promo produk-produk tertentu yang "nyasar" ke akun facebook kita. Ternyata itu adalah salah satu "ulah" dari AI yang dengan jeli membaca dinamika netizen di dunia maya.

Manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna. Sebagai makhluk cerdas. Seiring dunia yang begitu dinamis berkembang ini, kecerdasan itu ternyata oleh manusia sudah diduplikasi sedemikian rupa sehingga mampu mengurangi beban berfikir manusia itu sendiri. 

Manusia adalah yang mendesain pemikiran awalnya, sedangkan untuk selanjutnya akan "dipasrahkan" kepada AI sebagai pelaksana. AI memungkinkan semuanya berjalan dengan lebih cepat. 

Menjadikan kita sekarang hidup pada salah satu era tercepat dalam sejarah. Era serba cepat. Mereka yang lambat akan tertinggal, terlindas, dan akhirnya menghilang. 

Sebaliknya yang cepat memiliki kemungkinan lebih baik untuk bersaing menjaga eksistensinya. Era AI adalah era "perang" kecerdasan, pertarungan ide, dan adu kreativitas. Kita yang memilikinya berpotensi untuk menjadi lebih daripada yang lain.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun