Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Pikir-pikir Menikah di Bulan "Suro"?

3 September 2019   07:55 Diperbarui: 3 September 2019   11:58 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen pernikahan | Ilustrasi gambar : www.boombastis.com

Beredar luas pemahaman publik, khususnya bagi masyarakat Jawa, yang menghindari prosesi pernikahan di Bulan "Suro" pada kalender Jawa atau Bulan Muharram pada kalender Hijriah. "Kebetulan" memang perhitungan penanggalan Jawa dan Islam memiliki kesamaan hitungan seiring kebijakan yang dulu diambil oleh Sultan Agung. 

Hanya saja nama-nama bulannya saja yang sebagian diantaranya berbeda satu sama lain. Dalam kalender Hijriah beberapa nama bulannya diantaranya Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Sedangkan untuk bulan-bulan pada kalender Jawa pada urutan yang sama yaitu Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Awal, Selo, dan Besar.  

Pada setiap bulan umumnya memiliki jejak sejarahnya masing-masing yang membuat periode bulan tersebut "unik" dan berbeda dibandingkan bulan-bulan yang lain.

Bulan Suro atau Bulan Muharram selama ini dikenal sebagai bulan dimana masyarakat dianjurkan untuk tidak melangsungkan pernikahan. Bahkan ada yang menyebutnya DILARANG menikah pada Bulan Suro. 

Meski pada dasarnya setiap bulan dan setiap waktu adalah baik, akan tetapi tidak sedikit kalangan yang beranggapan bahwa ada waktu-waktu tertentu yang harus diperlakukan berbeda. 

Seiring budaya Jawa era Sultan Agung khususnya yang banyak berafiliasi dengan kebudayaan Islam, tidak mengherankan banyak warisan budaya kita yang "terinspirasi" oleh peristiwa-peristiwa bersejarah di dunia Islam. 

Terkait dengan anjuran untuk tidak melangsungkan acara pernikahan selama Bulan Suro, hal ini  dilatarbelakangi awalnya sebagai bentuk belasungkawa kaum muslimin atas wafatnya salah satu tokoh besar Islam, Sayyidina Husein, putra Sayyidina Ali RA, dan tidak lain merupakan cucu Baginda Nabi Muhammad SAW.

Sayyidina Husein terbunuh di Karbala pada tanggal 10 Muharram, dan para "simpatisan" dari Sayyidina Husein pun hingga saat ini masih melakukan ritual Hari Asyura untuk mengenang wafatnya beliau. 

Bentuk duka cita ata wafatnya salah satu tokoh besar kaum muslimin ini juga sampai di Indonesia, khususnya di tanah Jawa sehingga masyarakat Jawa banyak yang menghindari hal-hal yang berbau kesenangan dan euforia pada periode Bulan Suro tersebut. 

Pernikahan merupakan salah satu momen istimewa yang membahagiakan bagi para pelakunya. Mempelai yang menikah berbahagia karena bisa bersanding dengan belahan jiwa, keluarga mempelai pun ikut berbahagia karena putra-putrinya telah menjadi dewasa dan memulai kehidupannya sendiri. 

Hal-hal seperti ini dalam rangka hormat dan berbela sungkawa sebisa mungkin dihindari oleh masyarakat Jawa karena dianggap berada pada momen yang tidak tepat.

Tergantung Pada Kepercayaan dan Keyakinan Masing-masing

Bagaimanapun juga, setiap orang berhak menjalankan keyakinan yang mereka miliki. Masyarakat Jawa khususnya, dan bahkan mungkin beberapa komunitas diluarnya memiliki keyakinan bahwa pernikahan hendaknya dilakukan selain di Bulan Suro. 

Entah hal ini sekarang dipahami sebagai bentuk belasungkawa atau sebagai upaya menghindari nasib nahas, hal itu tergantung pemahaman pribadi masing-masing. 

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa awal mula "pengkhultusan" tidak menikah di Bulan Suro adalah sebagai bentuk duka cita. Barangkali banyak yang beranggapan bahwa mereka yang menikah di Bulan Suro akan mengalami nasib sial, usia pernikahan tidak bertahan lama, dan lain sebagainya. 

Hal ini bisa jadi berasal dari wejangan turun temurun yang dalam prosesnya tidak melalui kroscek dari generasi-generasi terdahulu. Sesuatu yang saat ini semestinya harus kita cari tahu titik kebenarannya.

Melihat awal mula sebuah tradisi diberlakukan sepertinya penting dilakukan agar kita tidak bertindak sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya. 

Kita semestinya mecari tahu kebenaran apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik cerita turun-temurun yang kita ketahui saat ini. Jangan-jangan ada beberapa hal yang ternyata selama ini kita pahami secara tidak tepat, dan perlu adanya pelurusan pemahaman. Hendaknya kita tidak menelan dan memahami mentah-mentah warisan nenak moyang kita. 

Bukan karena bermaksud tidak menghargai, tetapi lebih kepada mencari pemahaman yang sesungguhnya dan sebenarnya dari suatu pemberlakuan tradisi.

Budaya kita memang sangat kaya dan beragam. Sehingga tidak mengherankan ada begitu banyak hal istimewa berlaku didalam adat istiadat masyarakatnya. Ritual-ritual atau tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat kita belum tentu ditemui di negara lain atau di peradaban bangsa lain. 

Sebagai contoh, wafatnya Husein bin Ali RA adalah peristiwa besar dalam dunia Islam. Islam pun tidak semata ada di Indonesia atau di Jawa, akan tetapi tradisi tidak menikah selama periode Bulan Muharram atau Bulan Suro ini belum tentu dilakukan juga oleh bangsa lain. Termasuk oleh bangsa Arab sekalipun. 

Barangkali adat istiadat kita memang begitu tinggi sehingga menaruh hormat yang teramat besar ketika tokoh besar dan keturunan Rasul meninggal dunia. Penghormatan itu bahkan telah "menjelma" menjadi sebuah tradisi suatu komunitas besar yang bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun.

Jikalau memang seseorang ingin melangsungkan pernikahan di Bulan Suro ini sebenarnya sah-sah saja. Bagaimanapun juga tidak ada bulan haram untuk melangsungkan pernikahan. Dan pernikahan itu sendiri sebenarnya adalah bentuk dari ibadah dan sesuatu yang suci. 

Dilangsungkan tidaknya sebuah pernikahan pada Bulan Suro ini sebenarnya tergantung pada keyakinan diri pribadi setiap orang. Jikalau memang sudah yakin dengan niatan untuk menikah dan tidak bisa ditunda, maka alangkah baiknya agar disegerakan. 

Tetapi semua kembali pada keyakinan kita masing-masing. Apabila masih ragu, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi kepada tokoh-tokoh masyarakat yang berilmu perihal kondisi ini. Mari menyikapi sesuatu dengan sebagaimana mestinya hal itu disikapi.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun