Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lika-liku Kontroversi Hukuman Rajam Pelaku LGBT

6 April 2019   08:31 Diperbarui: 6 April 2019   10:54 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
llustrasi LGBT| Thinkstock

Beberapa hari terakhir ini dunia internasional dibuat "kisruh" oleh keputusan yang disampaikan oleh Sultan Brunei Darussalam perihal pemberlakuan hukuman cambuk dan hukuman rajam hingga mati kepada para pelaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). 

Yang paling menjadi perhatian sebenarnya bukanlah pada vonis hukuman matinya, namun lebih kepada proses dari pelaksanaan hukuman tersebut yang mana para tervonis akan dihukum rajam sampai ia meninggal dunia. 

Lain halnya dengan hukuman mati dengan tembak mati atau pancung misalnya, hukuman rajam ini dikesankan lebih "menyiksa" tubuh tervonis sebelum mereka akhirnya meninggal. Hukuman rajam sendiri adalah sebuah hukuman yang dilakukan dengan cara melempari batu kepada mereka yang tervonis mendapatkan hukuman ini. 

Dalam beberapa penjelasan lain disampaikan juga bahwa hukuman rajam dilakukan dengan mengubur sebagian anggota tubuh tervonis hingga bagian kepalanya saja yang terlihat, kemudian ia dilempari baru secara terus-menerus hingga meninggal dunia. 

Mengutip dari situs eramuslim.com, hukuman ini tidak dilakukan kecuali dalam kasus yang sangat tercela dan tentunya apabila si penerima hukuman benar-benar terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pelanggaran berat secara syariah.

Pro kontra menyeruak hampir di semua kalangan. Bagi mereka yang pro dengan pemberlakuan hukuman ini menganggap bahwa hukuman rajam sampai mati memang sudah sepantasnya diberikan kepada pelaku LGBT yang dianggap telah menyalahi kodrati manusia serta mempertunjukkan tindakan atau perilaku terkutuk sebagaimana di masa lalu pernah terjadi pada umat Nabi Luth yaitu kaum sodom. 

Di masa itu mereka mempertontonkan hubungan tak lazim dimana perzinaan sesama jenis terjadi. Lelaki berzina dengan lelaki dan wanita berzina dengan wanita. Sebuah perilaku yang dianggap lebih rendah dari binatang, karena binatang saja tidak mau berhubungan dengan sesama jenisnya. 

Fenomena serupa itulah yang sepertinya mulai bangkit kembali di era modern ini, sehingga banyak di antara kita yang terusik melihat realitas ini. Kekhawatiran mereka melihat fenomena tak lazim ini mendorong mereka untuk memberlakukan sebuah hukuman yang dianggap mampu memberikan efek jera, dan hukuman rajam sampai mati adalah sebuah cara yang diharapkan mampu memberikan efek jera tersebut.

Kalangan yang tidak menghendaki keberadaan LGBT bisa dibilang sangat mendukung pemberlakuan hukuman ini, meski mungkin tidak semuanya bersepakat. Para penentang LGBT bisa jadi di antaranya menentang pemberlakuan hukuman rajam sampai mati ini karena menganggap hal itu begitu kejam dan tidak berempati terhadap kemanusiaan. 

LGBT adalah fenomena yang harus disikapi secara tepat (Ilustrasi gambar : www.viva.co.id)
LGBT adalah fenomena yang harus disikapi secara tepat (Ilustrasi gambar : www.viva.co.id)

Orang-orang ini mungkin menilai bahwa untuk mereduksi perkembangan LGBT masih bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih bersahabat atau lebih memberdayakan cara-cara preventif. Bagaimanapun juga, hukum rajam sampai mati adalah hukuman yang diberikan ketika tindak pelanggaran kesusilaan telah dilakukan. 

Jikalau bisa kita cegah adanya tindakan pelanggaran, mengapa justru dibiarkan? Sebagian orang berargumen bahwa tidak adil kiranya apabila hukuman ini diberlakukan kepada para pelaku LGBT. Mereka tentu tidak ingin terlahir dengan kondisi seperti itu. Demikian mungkin yang seringkali disampaikan oleh sebagian orang yang bersimpati terhadap orang-orang dengan kecenderungan seksual menyimpang. 

Apapun argumentasi yang menyangkal ataupun membenarkan keberadaan LGBT, pada dasarnya hukuman rajam sampai ini diberikan kepada mereka yang berzina dengan sesama jenis. Perzinahan dengan lawan jenis saja sudah sangat terlarang, terlebih perzinahan dengan sesama jenis. 

Lantas bagaimana dengan LGBT yang menikah? Bukankah mereka sudah sah sebagai suami istri? Membahas tentang hal ini tentu akan memerlukan waktu panjang. Namun secara singkat hukum negara kita Indonesia dan lebih khusus Agama Islam melarang dengan tegas pernikahan sesama jenis, apalagi perzinahan sesama jenis.

Kalangan yang kontra terhadap keputusan Sultan Brunei Darussalam beramai-ramai menentang dan menyerukan penolakan. Mereka bersuara lantang tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan salah seorang selebritis dunia, George Clooney, menyerukan agar hotel-hotel milik Sultan Brunei diboikot. 

Seruan penolakan juga disampaikan oleh tokoh kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menganggap bahwa hukuman rajam sampai mati itu terlalu kejam bagi kemanusiaan. Barangkali seruan-seruan penolakan masih akan terus bermunculan lagi nanti. 

Aksi boikot mungkin akan banyak diserukan untuk menyudutkan Brunei Darussalam selaku negara yang memberlakukan hukuman ini. Sekarang tinggal melihat seberapa besar komitmen dari bangsa Brunei Darussalam dalam menerapkan hukuman bagi pelaku LGBT ini.

Dalam menyikapi kondisi ini, kita mungkin memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Sebelum menilai kejam atau tidak terhadap pemberlakuan hukuman rajam sampai mati ini, terlebih dahulu kita perlu untuk memantapkan persepsi serta pemahaman kita terkait apa yang dimaksud dengan LGBT. 

Sepakatkah kita bahwa LGBT itu melakukan bentuk pelanggaran terhadap norma, moralitas, serta nilai-nilai agama yang kita anut ataukah LGBT adalah bagian dari hak asasi? Secara pribadi saya menganggap bahwa LGBT itu adalah tidak sesuai dan bertentangan dengan ajaran agama. 

Setiap orang dilahirkan dengan fitrahnya sebagai lelaki atau perempuan. Terkait proses tumbuh kembangnya, orang tua dan faktor lingkunganlah yang berperan membentuk setiap individu seseorang. Jika ada seorang lelaki yang bersikap seperti perempuan atau sebaliknya, maka perlu diperiksa ulang kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. 

Anak laki-laki yang tumbuh dan berkembang tanpa budaya "lelaki" didalamnya, tidak akan tumbuh sebagai mana halnya seorang lelaki. Begitu halnya dengan seorang perempuan. 

Ada nilai-nilai yang perlu dirawat dan ditanamkan dalam jiwa seorang lelaki dan seorang perempuan. Secara umum, saya tidak ingin masuk lebih dalam terkait bagaimana seseorang bisa bertumbuh menjadi LGBT. 

Namun kecenderungan perilaku yang dihasilkan oleh seorang LGBT inilah yang mesti kita ketahui dampak atau konsekuensinya. Jangan sampai dengan mengatasnamakan hak asasi lantas nilai-nilai luhur agama dikhianati. Agama adalah parameter untuk mengatur tingkah laku manusia, bukan sebaliknya.

Terlepas dari pemberlakuan hukuman rajam sampai mati bagi plaku LGBT, saya kira pemerintah mampu bersikap tegas dan bijak terhadap situasi ini. Bangsa kita sudah memiliki falsafah Pancasila yang dijadikan sebagai rujukan serta acuan dalam bertindak seorang warga negara. Namun jikalau harus memilih, pelaku perzinahan LGBT sudah semestinya diberikan hukuman setimpal. 

Sedangkan mereka yang memiliki kecenderungan perilaku tersebut harus diberikan arahan dan pendidikan moral agar supaya menyesuaikan dengan fitrahnya sebagai manusia. Disisi lain, pro kontra dan kontroversi tentang LGBT mungkin akan terus bergulir beberapa waktu kedepan. 

Kita harus menguatkan dan memantapkan pengetahuan serta pemahaman kita masing-masing untuk melihat hal ini secara utuh dan menyeluruh. Nilai-nilai apa yang semestinya kita lebih utamakan daripada yang lain. Sikap-sikap seperti apa yang semestinya kita tunjukkan dalam menanggapai hal ini.

Kita semua tahu bahwa budaya bangsa-bangsa terus bergerak dari waktu ke waktu. Hal-hal yang dulu dianggap tabu bisa seketika berubah menjadi sesuatu hal yang biasa. 

Jangan sampai kita terjebak dalam pemahaman sesat yang mungkin tanpa sadar tengah menebarkan doktrinnya pada kita. Terkadang, hal-hal yang melanggar hukum terlihat seperti hak yang mesti diperjuangkan. 

Terkadang tindakan kekerasan dimaknai sebagai perjuangan yang meskipun berdampak merugikan orang banyak tapi tidak perlu disesali. Kita adalah makhluk cerdas yang tumbuh dengan nilai-nilai luhur budaya dan agama. 

Bangsa kita adalah bangsa pembelajar cerdas yang semestinya tidak dengan kolot mengikuti perubahan. Semestinya setiap orang memiliki prinsip-prinsip mulia yang bisa dijadikan pedoman dan acuan dalam bersikap. Sehingga apapun yang terjadi, selama prinsip mulia itu kita genggam erat maka sikap kita akan selalu mengarah pada kebenaran. InsyaAllah.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun